March 16, 2019

REVIEW : YOWIS BEN 2


“Koen kabeh eling. Nek ga sukses, uripmu kabeh bakal sepi koyo kuburan iki.”

“Jare sopo sepi? Rame ngene og.”

Saat dirilis di bioskop pada tahun 2018 silam lalu, siapa yang menyangka Yowis Ben akan disambut dengan sangat hangat oleh penonton? Keputusan untuk menggunakan Bahasa Jawa Malangan sebagai dialog utama jelas terbilang nekat, bahkan sempat pula mengundang kontroversi tak perlu yang dikait-kaitkan dengan masalah nasionalisme. Bagi penonton yang tak memahami Bahasa Jawa, Yowis Ben bisa jadi kurang menggoreskan kesan. Namun bagi mereka yang paham betul terlebih bagi penutur asli dialek Malang dan sekitarnya, film ini menghadirkan sebuah hiburan mengasyikkan. Narasinya membumi, begitu pula dengan guyonan-guyonannya yang terdengar akrab di telinga. Sebagai orang Jawa tulen yang kebetulan cukup mengenal kota Malang, saya jelas menikmati suguhan dari Fajar Nugros bersama Bayu Skak ini. Memang jauh dari kata sempurna (well, ada banyak sekali catatan yang saya tinggalkan buat film ini), tapi saya menyukai nada penceritaannya yang begitu enerjik sekaligus mengalir lancar seolah tanpa beban. Tipe tontonan yang enak disimak beramai-ramai maupun dimanfaatkan untuk mengobati kegundahan hati. Puecah pol! Kesanggupan saya dalam menemukan sisi excitement yang terkandung di Yowis Ben ini tentu membuat saya bergembira begitu mendengar kabar bahwa film kelanjutannya telah dipersiapkan. Hanya saja, saya pun memiliki sejumlah kekhawatiran terhadap nasib film ini yang dipicu oleh: 1) adanya kemungkinan si pembuat film terbebani dengan kesuksesan jilid terdahulu sehingga penceritaan pun tak lagi luwes, dan 2) adanya kemungkinan Yowis Ben 2 terkena kutukan sekuel. Saya pun seketika berdoa, “semoga kekhawatiran ini tak pernah terjadi. Semoga kekhawatiran ini tak pernah terjadi.”

Dalam Yowis Ben 2 yang mengambil latar penceritaan satu tahun selepas film pertama, penonton dipertemukan kembali dengan para personil Yowis Band yang terdiri atas Bayu (Bayu Skak), Doni (Joshua Suherman), Nando (Brandon Salim), serta Yayan (Tutus Thomson). Tidak lagi dijadikan sasaran bulan-bulanan, kini Yowis Band cukup sering memperoleh tawaran manggung meski baru sebatas dalam lingkup kota Malang. Gagasan untuk memperluas sayap Yowis Band ke tingkatan lebih luas lantas muncul setelah keluarga Bayu dihadang masalah pelik: terancam ditendang dari kontrakan apabila gagal melunasi tungakkan uang sewa. Cak Jon (Arief Didu) selaku manajer Yowis Band pun mencoba membantu dengan mencarikan undangan manggung bagi band kesayangannya ini yang sayangnya justru berakhir buruk. Alih-alih mendapatkan uang, mereka lebih sering ditodong uang karena menciptakan kekacauan. Ditengah kekecewaan karena jalan menuju ketenaran tampak telah tertutup rapat, Bayu bertemu dengan Cak Jim (Timo Scheunemann) yang mengaku sebagai manajer artis profesional. Cak Jim menawari sekelompok anak muda ini dengan iming-iming menggiurkan yakni meniti karir bermusik di kota Bandung. Berhubung Bayu membutuhkan uang untuk membayar hutang, Yayan memerlukan tabungan untuk menghidupi istri yang baru dinikahinya, Nando mencari pelampiasan atas kekecewaannya terhadap sang ayah, dan Doni menginginkan seorang kekasih, maka mereka pun menerima kontrak dari Cak Jim tanpa berpikir panjang. Yowis Band memecat Cak Jon, hengkang dari Malang, lalu terbang menuju Bandung dimana segalanya ternyata sama sekali tak sesuai dengan bayangan mereka.  


Mengikuti tradisi tak tertulis dari sekuel, Bagus Bramanti selaku penulis skenario pun memperluas sekaligus memperumit guliran pengisahan yang diusung oleh Yowis Ben 2. Bukan lagi sebatas kisah memenangkan pujaan hati menggunakan jalur band, ini juga kisah tentang memperjuangkan mimpi dan bagaimana idealisme beserta prinsip seringkali berbenturan dengan realita ditengah perjalanan dalam merengkuh mimpi tersebut. Memang terdengar cukup berat, tapi Yowis Ben 2 sendiri tak pernah tertarik untuk menguliti persoalan yang dikemukakannya ini secara mendalam. Sederet konflik yang menghiasi film seperti Nando yang sulit menerima kenyataan kalau dirinya akan memiliki ibu tiri, Doni yang kebelet memiliki pacar, sampai Yayan yang menikahi Mia (Anggika Bolsterli) melalui proses ta’aruf terasa sekadar numpang lewat. Si pembuat film seolah hanya ingin menggugurkan kewajiban untuk memberikan persoalan kepada karakter-karakter pendukung sehingga film tak terkesan Bayu-sentris. Semua-muanya tentang Bayu. Saya mulanya senang-senang saja mendengar keputusan ini terlebih penonton sejatinya masih kurang mengenal karakter Doni dan Yayan yang kehidupan pribadinya belum digali di film pertama. Namun seiring berjalannya durasi, Yowis Ben 2 tiba-tiba melupakan mereka dan kembali mengedepankan masalah Bayu yang sekali lagi berkutat dengan asmara. Saya pun dibuat bertanya-tanya, apakah memberi pasangan bagi karakter ini adalah suatu kewajiban? Mengapa film tidak fokus saja kepada narasi perihal pergulatan Yowis Band dalam meniti karir dan bagaimana realita ternyata tak sejalan dengan ekspektasi yang telah mereka tanamkan?

Maksud saya, pilihan kedua terasa lebih nyaman diikuti apalagi film sejatinya berada di momen-momen terbaiknya saat menyoroti keempat personil Yowis Band. Saya penasaran dengan proses pendewasaan diri dari para karakter utama. Soal masalah-masalah mereka, pandangan-pandangan mereka, atau pilihan-pilihan mereka berkenaan dengan masa depan band. Apalagi ada pertaruhan besar menanti dimana kesalahan dalam mengambil keputusan dapat meretakkan hubungan yang telah dibina dengan baik. Ketimbang mengeksplorasinya, si pembuat film lebih memilih untuk menyodori penonton dengan kisah Bayu bersama perempuan yang ditaksirnya, Asih (Anya Geraldine), beserta ayahnya yang terkesan diada-adakan demi memberi kesempatan bagi Bayu untuk memperoleh pengganti Susan (Cut Meyriska) dan menjejali penonton dengan setumpuk pesan moral. Entahlah, tidak seperti film pertama yang bisa mengalir lancar, saya merasa Yowis Ben 2 terlalu berusaha untuk menjadi sajian yang lebih mengesankan dari sang pendahulunya sehingga terkesan dibuat-buat. Upayanya dalam menyelipkan tuntunan membuat film terasa amat ceriwis di beberapa titik, lalu upayanya dalam menghadirkan narasi lebih kompleks tidak dibarengi dengan penyampaian mumpuni yang membuat konklusinya terasa menggampangkan. Peralihan adegan yang cenderung melompat-melompat tentu sama sekali tidak membantu. Padahal film sejatinya sudah tampil meyakinkan di menit-menit awal yang terlihat dari banyolan-banyolannya yang masih mengundang gelak tawa riuh, kemunculan Anggika Bolsterli yang menambah level kegilaan diantara personil Yowis Band, barisan soundtrack yang mudah nempel di telinga, sampai perpaduan dengan budaya Sunda yang menciptakan gegar budaya menggelitik.


Tapi sedari keterlibatan karakter Asih secara aktif dalam narasi yang menggerus cabang konflik lain (termasuk Cak Jon yang nyaris tak lagi dibahas), Yowis Ben 2 mulai luntur pesonanya yang turut dibarengi pula oleh menurunnya tingkat kelucuan humornya. Memang masih menghibur, hanya saja tiada momen “pecah puol!” yang bisa dijumpai di sisa durasi. Saya tentu kecewa karena kekhawatiran yang sempat saya ungkapkan di paragraf pembuka ternyata benar-benar terjadi. Kentara terasa, si pembuat film terbebani dengan kesuksesan jilid terdahulu sehingga penceritaan dalam Yowis Ben 2 tak benar-benar mengalun secara luwes.

Acceptable (2,5/5)     

No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch