October 1, 2015

REVIEW : THE INTERN


"Well, I was going to say intern slash best friend."

Mengetahui Nancy Meyers – sutradara dari salah satu film favorit saya, The Parent Trap, sekaligus The Holiday yang tetap saja memiliki cita rasa manis sekalipun telah ditonton beberapa kali – akan meluncurkan film baru usai 6 tahun vakum dari industri perfilman, reaksi pertama adalah melakukan tarian penuh kegembiraan. Yup, happy dance! Seolah kabar ini masih belum cukup membahagiakan, film bertajuk The Intern ini pun melanjutkan kebiasaan Meyers memasangkan dua aktor berkaliber Oscar dengan kali ini berasal dari generasi berbeda, yakni Anne Hathaway dan Robert De Niro, untuk saling beradu akting. Sungguh menggugah selera, bukan? Tapi sebelum kamu mengkhawatirkan The Intern akan bertutur mengenai kisah roman beda usia (sejujurnya pikiran negatif ini sempat terbersit, yikes!), tenang saja, hubungan Hathaway dan De Niro disini lebih bersifat profesional alih-alih percintaan yang sedikit banyak akan mengingatkan penonton pada relasi Hathaway dan Meryl Streep yang kejamnya tiada ampun lagi di The Devil Wears Prada dengan Hathaway menggantikan posisi Streep. Whoa! 

Robert De Niro adalah Ben Whitaker, duda berkepala tujuh yang mengalami kejenuhan akut paska sepeninggal sang istri tercinta dan pensiun dari karir gemilangnya. Mencoba berbagai macam aktifitas untuk mengisi kekosongan di hari senjanya, tapi tak satupun yang berhasil hingga Ben melihat ada peluang menemukan ‘kehidupan baru’ dengan bekerja di perusahaan penjualan pakaian berbasis online yang kebetulan tengah mencari pemagang senior. Memiliki jejak rekam di dunia bisnis selama puluhan tahun, ditunjang pula mempunyai kepribadian supel, mudah bagi Ben untuk menyesuaikan diri di kantor barunya sekalipun ritme kerjanya jauh berbeda. Satu-satunya tantangan berat bagi Ben adalah menaklukkan hati atasannya, Jules Ostin (Anne Hathaway), yang sedari awal telah menjaga jarak dengan Ben. Berulang kali Jules menunjukkan penolakan untuk bekerjasama dengan Ben, namun Ben terus mengupayakan agar keduanya dapat menjalin hubungan baik yang secara perlahan tapi pasti mulai terbentuk diantara Jules dan Ben terutama setelah masing-masing menyadari bahwa mereka sejatinya saling membutuhkan satu sama lain. 

Satu kata terlontar dari mulut sesaat setelah menyaksikan The Intern adalah, “wow, saya sangat mencintai film ini!.” Menghibur dan menghangatkan hati. Terindikasi akan mengandalkan senda gurau tak berisi sekadar untuk meriuhkan suasana seperti terlihat dalam trailer, kenyataannya The Intern malah jauh lebih dari itu. Seperti halnya film-film Nancy Meyers terdahulu, The Intern pun tidak sesederhana tampak luarnya. Dalam artian, penonton tidak semata-mata dikondisikan untuk terbahak-bahak di dalam gedung bioskop lalu pulang dengan tangan hampa serta melupakan sebagian besar isi tontonan, melainkan ada sesuatu lebih yang bisa dipetik darinya. Di paruh awal film, kala masih tahapan perkenalan hingga mengemukanya konflik, The Intern penuh candaan menggelitik – bahasan guyonan seputar seksisme di dunia kerja maupun senior junior – yang akan membuatmu tersenyam-senyum sampai terbahak utamanya dalam pertemuan awal Ben dengan pemijat di kantor, Fiona (Rene Russo), percakapan-percakapan santai di kantor dan tatkala Ben bersama rekan-rekan kerjanya bergaya ala Ocean’s Eleven menyusup ke rumah ibu Jules guna menemukan sebuah laptop. 

Tapi begitu memasuki paruh akhir, nada penceritaan The Intern berubah secara drastis. Gelak tawa mulai memudar, peran Joy (kamu tahu, karakter dari Inside Out) yang dominan tergantikan oleh Sadness. Penonton pun bersiap-siap mengeluarkan tissue, khususnya di 30 menit terakhir yang menghujam emosimu keras-keras. Persoalan-persoalan yang semula tampak remeh, terakumulasi menjadi semacam badai besar mengakibatkan salah satu karakter utama dalam film mengalami kebimbangan untuk memilih dengan pertanyaan utama, “apakah memang karir sukses tidak bisa berjalan beriringan dengan rumah tangga penuh kebahagiaan?.” Pergolakan batin Jules dan Ben disini berasa otentik karena ya, apa yang mereka hadapi tidak jauh-jauh dari permasalahan personal masyarakat kebanyakan, seperti tekanan keras dunia kerja, keinginan memperoleh kehidupan yang sempurna, hingga ketakutan akan kesepian di hari tua. Nancy Meyers tidak menciptakan keduanya sebagai karakter bombastis dengan persoalan hidup yang bombastis pula melainkan lebih ke manusia biasa sehingga memungkinkan para penonton untuk terhubung, merasakan, sekaligus bersimpati terhadap konflik yang melingkupi mereka. 

Kecakapan Nancy Meyers dalam mengolah naskah berisi, cerdas, jenaka, dan menyentuh hati hasil dari premis kadaluarsa turut ditunjang oleh skoring menghanyutkan Theodore Shapiro, penataan artistik menawan (menghidupkan suasana kantor About the Fit milik Jules), serta paling utama, akting brilian dari jajaran pemainnya baik utama maupun pendukung. Tidak ada yang lebih tepat dari menyatukan Robert De Niro dan Anne Hathaway untuk bersinergi di garda terdepan. Saat dipisahkan, masing-masing tampil ciamik dengan De Niro menunjukkan karisma kuatnya sebagai Ben yang berhati mulia sampai-sampai sulit bagi penonton untuk tidak mencintai Ben, sedangkan Hathaway tampil meyakinkan sebagai perempuan muda ambisius yang jauh di lubuk hatinya menyimpan ketakutan besar. Dan saat disatukan, hasilnya jauh lebih dahsyat lagi. Keduanya benar-benar tampak seperti dua orang yang saling membutuhkan satu sama lain untuk saling menguatkan. Untuk saling melengkapi. Seolah-olah memang ditakdirkan bersama (dalam artian persahabatan atau ayah-anak, bukan percintaan). Memercikkan unsur magis dan kehangatan, boleh jadi De Niro-Hathaway adalah pasangan terbaik di layar lebar tahun ini. Keren!

Outstanding

No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch