“The friend zone is just another kind of jail.”
Dalam Friend Zone, penonton diperkenalkan kepada dua teman baik yang
telah menjalin ikatan persahabatan sedari duduk di bangku SMA, Gink (Baifern
Pimchanok) dan Palm (Nine Naphat). Tak seperti Gink yang sebatas menganggap
Palm sebagai sahabat yang siap menemani dalam suka maupun duka, Palm justru
berharap lebih. Dia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersama dengan Gink
sebagai istrinya bukan sebagai temannya. Berhubung Gink tak ingin merusak tali
pertemanan diantara mereka dan Palm pun acapkali ragu-ragu untuk mengutarakan
perasaannya, maka tentu saja hubungan keduanya pun tak pernah melangkah ke arah
yang lebih serius. Mereka hanyalah sahabat, that’s
it. Pun demikian, Palm masih memiliki keyakinan bahwa gayung akan bersambut
suatu saat nanti sekalipun Gink tak kunjung merespon kode-kode dari sahabatnya
selama satu dekade. Saat mereka akhirnya memilih jalan hidup masing-masing,
Palm tetap dijadikan teman pelipur lara oleh Gink yang mempunyai trust issue terhadap pasangannya, Ted
(Jason Young), yang merupakan seorang produser musik. Tidak jarang Gink
tiba-tiba menghubungi Palm untuk menemaninya akibat rasa insecure yang mendadak menghujamnya. Sebagai sahabat yang baik,
Palm tentu selalu siap sedia kapanpun dia dibutuhkan walau terkadang posisi
Gink berada nun jauh di negara lain. Meski keduanya sudah disibukkan dengan
pekerjaan dan pasangan masing-masing, Palm dan Gink tetap sulit untuk dipisahkan.
Dimana ada Gink yang sedang dirundung masalah, maka disitu ada pula Palm yang menenangkannya.
Palm yang tetap berharap ada secercah harapan bagi dia dan sang sahabat untuk mengucapkan
janji suci bersama.
Sejujurnya, tak ada pembaharuan
dalam guliran pengisahan yang dikedepankan oleh Friend Zone. Cerita mengenai dua teman baik yang menyimpan rasa
tapi tak sanggup untuk mengungkapkan karena khawatir merusak ikatan
persahabatan, telah berulang kali dipergunakan sebagai plot utama untuk film
percintaan. Tak perlu jauh-jauh melempar ingatan ke sinema dunia, perfilman
Indonesia pun baru saja menghadirkannya melalui Teman Tapi Menikah (2018) yang manis sekali dan Antologi Rasa (2019) yang yaaa… sudahlah
tak usah kita bahas demi kebaikan bersama. Alhasil, mudah sekali untuk melabeli
Friend Zone dengan sebutan “klise”,
“membosankan”, “film yang malas”, serta sederet kata sifat yang memiliki
konotasi negatif seperti kerap dilakukan oleh sebagian pihak kepada film
percintaan dengan narasi familiar. Padahal, apa yang salah dengan familiar? Friend Zone yang digarap oleh Chayanop
Boonprakob (Suckseed, May Who) pun membuktikan bahwa sebuah film
tidak harus memiliki narasi beserta penggarapan serba “diluar kotak” untuk bisa
disebut sebagai sajian yang mengesankan. Bukankah seringkali kita ke bioskop
hanya ingin mencari obat pelepas penat yang ditimbulkan oleh realita bercita
rasa pahit? Bukankah terkadang kita membutuhkan suatu tontonan yang dapat
mewakili isi hati dan bisa sepenuhnya dipahami karena ada kedekatan
representasi? Bagi saya, Friend Zone memenuhi
dua pengharapan tersebut lantaran: 1) ini adalah film yang menghibur, dan 2)
jalinan penceritaan film ini yang sederhana kemungkinan besar pernah dialami
oleh sejumlah penonton utamanya bagi mereka yang berkawan akrab dengan lawan
jenis.
Ya, satu kelebihan yang dimiliki
oleh Friend Zone adalah materi
penceritaannya yang tergolong relatable.
Mungkin kamu pernah menyaksikan “zona pertemanan” ini diberlakukan kepada
seseorang yang kamu kenal, atau malah mungkin kamu pernah terjebak di dalamnya
secara langsung. Saya pribadi tidak pernah berada dalam posisi Palm, tapi saya
cukup sering mendengar cerita bernada galau dari beberapa teman tentang
keberadaan zona berbahaya tersebut. Sebuah modal yang terbilang cukup bagi saya
untuk bisa memahami perasaan kedua karakter utamanya yang tak menentu. Terlebih
lagi, Chayanop Boonprakob turut menghadirkan karakterisasi mumpuni untuk Gink
dan Palm sehingga pilihan atas tindakan-tindakannya dapat dimengerti. Memang betul
bahwa latar belakang keduanya kurang digali mendalam – khususnya Palm yang
tidak pernah diketahui seperti apa keluarganya – tapi si pembuat film mencoba
mengompensasinya dari motivasi kedua karakter yang terjabarkan secara jelas. Sikap
ragu-ragu Palm dilandasi oleh keengganannya mempertaruhkan persahabatan yang
penuh kenangan indah apalagi sang sahabat pun sudah terang-terangan menyatakan “menjadi sahabat saja sudah cukup, kan?”,
sementara penolakan Gink dilandasi oleh trauma yang disebabkan oleh
perselingkuhan sang ayah dan mantan kekasihnya. Dia tidak benar-benar bisa
mempercayai cinta maupun pernikahan sehingga Gink seringkali mempunyai
kekhawatiran hubungan asmaranya tidak akan berlangsung lama. Ditambah fakta
bahwa dia memandang Palm sebagai playboy,
maka menjalin tali asmara dengan sang sahabat tidak terlihat seperti pilihan
bijak karena kemungkinan keduanya untuk berpisah tampak begitu jelas.
Disodori pergulatan batin semacam
ini, saya pun ikut dibuat bimbang. Seolah-olah saya diposisikan sebagai kawan
baik mereka berdua yang tiba-tiba diberondong dengan pertanyaan, “jadi apa yang seharusnya kita lakukan?.”
Karakterisasi kedua protagonis ditambah chemistry
sangat bagus yang dibentuk oleh Baifern Pimchanok dengan Nine Naphat membuat
dua pilihan sama-sama terdengar masuk akal. Saya berharap mereka memberanikan
diri untuk jadian, tapi saya pun tak keberatan jika mereka kemudian memutuskan untuk
tetap bersahabat. Mengingat diri ini telah sepenuhnya bersimpati kepada Gink
dan Palm (satu hal yang wajib bisa dilakukan oleh film percintaan!), saya tentu
hanya menginginkan yang terbaik untuk mereka walau di lubuk hati terdalam berteriak
“jadian dong!”. Sebuah teriakan yang
tak terelakkan karena mau bagaimana lagi, rangkaian momen yang disodorkan di
sepanjang durasi telah menggiring opini penonton untuk menyatakan “kedua insan ini harus bersatu”. Rangkaian
momen yang sejatinya klasik tapi mampu dimunculkan dengan luar biasa manis
berkat sensitivitas si pembuat film dan chemistry
dua pemain seperti adegan makan malam di gedung pencakar langit, menggubah ulang
lirik lagu di pantai, sampai mencari cincin di bawah kolong meja. Disodorkan dengan
beragam tone meliputi konyol yang
menciptakan gelak tawa, lembut yang memantik senyum bahagia, serta haru yang
mengundang air mata, Friend Zone
jelas memenuhi segala pengharapan saya untuk film percintaan. Ditambah dengan
fakta bahwa film ini mempunyai babak ketiga yang dirangkai dengan sangat cerdik
(well, salah satu kelebihan film
Thailand memang terletak pada cara mereka mengemas proses puncak menuju
konklusi), pada akhirnya diri ini pun sulit untuk menolak pesona yang
ditawarkan oleh Friend Zone. Bagus!
Trivia : Lagu tema dari Friend
Zone yang berjudul “Kid Mak”
dibawakan oleh sepuluh biduanita dari berbagai negara di Asia termasuk dua
personil GAC, Audrey Tapiheru dan Cantika Abigail, yang mewakili Indonesia.
Keduanya juga tampil secara cameo di
film.
Outstanding (4/5)
Rasa baper nya sama kaya nonton film "One days" gak min. Nyesek di ending?
ReplyDeleteNggak nyesek sih, ini cenderung ke ceria dan bahagia. Tapi buatku malah lebih baper dibanding One Day.
DeleteOk min entarlah saya tonton nunggu unduan saja heheee soalnya jatah nonton nya buat "Shazam" yg tayang besok hehee
DeleteSerius Nanya endingnya jadian ngga sih ?
DeleteGw dah nntn endingnya plam kayak ngelamar boongan si gonk tp itu mereka bener nikah apa masi temenan?tolong dibales galau tiap hari ni setelah nntn film nya
DeleteMin tolong dong saya lagi cari soundtrack lagunya, yg pas di bagian palm pergi dari tempat yg banyak lilin lilin nya ituloh..
ReplyDeleteKalau di film nya kira2 mulai menit 1.37.30 an min.
ReplyDeleteSaya malah lagi cari lagu yg dinyanyiin tiga sekawan yg di credit scene, pls bantuu
ReplyDeleteSamaaa cari" gak ada. Pdhl bagus bgt
DeleteAda yg udh nemu belom gan lagunya yg credit scene 3 sekawan itu?
DeleteReviewnya keren banget, Kak. Aku pun nonton film ini karena ingin tertawa dan terhibur. Kalau menurutku memang ceritanya ringan dan ada beberapa hal yang membuat aku tertawa saat menonton film ini.
ReplyDeletejadi pengen nonton deh
ReplyDeleteregistrasi kartu axis