“So, how do you know my dad?”
“He kidnapped me. We killed some people.”
Beberapa kali saya pernah
mengemukakan, “pergi ke bioskop tanpa
bawa ekspektasi dan ternyata film yang ditonton sangat menyenangkan adalah
kejutan terbaik yang bisa diterima oleh pecinta film.” Tahun ini – atau
lebih baik saya persempit menjadi libur musim panas di Negeri Paman Sam – saya
mendapati beberapa kejutan manis yang membuat hati kian bungah setiap
melangkahkan kaki ke bioskop. Pertama dari Aladdin
yang ternyata gegap gempita, lalu Crawl
yang rupa-rupanya bukan horor murahan dengan kemampuannya memberi daya cekam
cukup tinggi, dan paling terbaru adalah Stuber
yang semula saya lirik semata-mata lantaran dibintangi oleh aktor laga
kebanggan Indonesia, Iko Uwais. Tidak pernah lebih. Tapi seperti halnya dua
judul lain yang telah saya sebutkan, Stuber
pun bikin saya kecelik. Memang betul bahwa film arahan Michael Dowse (Take Me Home Tonight, Goon) yang berada di ranah action comedy ini mempunyai jalinan
pengisahan yang sangat formulaik. Kalian bisa seketika teringat dengan
serentetan tontonan berkonsep buddy cop
movie semacam Lethal Weapon
(1987), Bad Boys (1995), Rush Hour (1998), sampai 21 Jump Street (2012). Yang kemudian
menjadikannya (sangat) bisa dinikmati adalah kejituan tim kasting dalam memilih
pemain.
Ya, menyandingkan Kumail Nanjiani
(The Big Sick) yang mempunyai comic timing hebat dengan Dave Bautista
(Drax dalam Guardians of the Galaxy)
yang memberi kesan intimidatif adalah keputusan paling tepat yang dilakukan oleh
Stuber. Mereka menghadirkan chemistry hidup yang membuat perjalanan
menunggangi Uber sepanjang 93 menit terasa mengasyikkan. Tapi, tunggu tunggu…
mengapa harus Uber? Tak ada alasan khusus selain, well, film ini menempatkan seorang pengemudi Uber sebagai karakter
utama bernama Stu (Kumail Nanjiani). Menganut pada formula buddy cop movie, dia adalah implementasi dari “si kecil” bermulut
ceriwis dengan skill bertarung ala
kadarnya. Stu sendiri tidak mempunyai latar belakang sebagai penegak hukum.
Pada jam kerja normal, dia mengais rejeki dari toko perabotan rumah tangga.
Sementara di waktu luangnya, dia menambah penghasilan dengan mengendarai taksi
online dibawah naungan Uber. Pertautan Stu dengan dunia kriminal yang identik
dengan “barang haram”, tembak-tembakan, sampai kebut-kebutan dimulai setelah
dia menerima permintaan menumpang dari Vic (Dave Bautista). Penglihatannya yang
kabur membuat anggota kepolisian Los Angeles ini terpaksa “menyandera” Stu untuk
mengantarkannya dalam meringkus pemasok obat-obatan terlarang, Tedjo (Iko
Uwais), yang memiliki masa lalu dengan Vic.
Tak pelak, Stu terlibat dalam
misi perburuan yang dijalankan oleh Vic. Berhubung harinya sedang sangat buruk
dimana setiap penumpang memberinya nilai dibawah 5 bintang (mimpi buruk bagi
ojol!), Stu pun mau tak mau mematuhi setiap permintaan Vic dengan harapan dia
bersedia memberinya nilai sempurna. Berhubung kedua karakter ini memiliki
karakteristik bertolak belakang – Stu cenderung selow sedangkan Vic senantiasa sepaneng – dan dunia mereka pun sangat
berbeda, maka bisa diterka, gesekan demi gesekan terus mewarnai di sepanjang
perjalanan. Mereka saling berargumen, saling cela, hingga saling gebuk-gebukan
satu sama lain dalam salah satu adegan perkelahian paling lucu nan nyeleneh di
tahun ini. Meski ada kalanya Dowse turut memberi penonton dengan sejumlah
adegan laga yang beberapa diantaranya terhidang seru, seperti adegan pembuka
berupa penyergapan di hotel yang menjadi ajang reuni bagi Dave Bautista dengan
Karen Gillan (pemeran Nebula dalam Guardians
of the Galaxy) atau tembak-tembakan di rumah sakit hewan yang terbilang
brutal, keributan kecil-kecilan yang menyertai interaksi antara Stu dengan Vic
adalah jualan utama yang dikedepankan oleh Stuber.
Bagi saya, film memang menunjukkan kekuatan yang dipunyainya disini tatkala
sang sutradara menghidupkan “mode komedi” yang berarti memperdengarkan kita dengan
keluhan Stu dan erangan Vic lalu sesekali melontarkan komentar soal toxic masculinity yang secara tidak
terduga dapat tersampaikan dengan baik.
Ndilalah, Kumail Nanjiani beserta Dave Bautista menyanggupi permintaan
Dowse. Mereka membentuk chemistry
hidup sebagai duo yang sulit dibayangkan bisa kompak dalam bekerja sama. Kumail
kerap nyerocos perihal ketidaksanggupannya menghadapi kerasnya dunia penegak
hukum, sedangkan Dave yang dideskripsikan sebagai pria tangguh enggan untuk
berkompromi karena tujuannya hanya satu: menaklukkan Tedjo. Performa sangat
baik dari kedua pelakon ini dimana Nanjiani berkesempatan pula unjuk gigi dalam
melakoni adegan laga dan Bautista sesekali ikut berkelakar (well, polisi yang bertugas dengan
penglihatan kabur jelas berpotensi kelucuan, kan?), mengompensasi lemahnya Stuber di sektor penulisan skrip yang
cenderung tipis serta keputusan kurang bijak untuk memberi jatah tampil secuil
kepada Iko Uwais. Menilik posisinya sebagai villain
utama, saya terkejut melihat betapa disia-siakannya keberadaan Iko di film ini.
Tidak hanya jarang mengucap dialog, keahliannya dalam bertarung pun tak
ditonjolkan. Saat akhirnya Vic berjumpa kembali dengan Tedjo, saya mengira akan
ada perkelahian besar yang terjadi. Tapi ternyata, skalanya tak lebih besar
dibanding perkelahian di dalam toko perabotan yang bernuansa komedik.
Mengecewakan memang, tapi (lagi-lagi) berkat penampilan asyik duo pemain
utamanya, saya dapat mengampuninya. Paling tidak, saya masih menjumpai banyak
kesenangan tatkala menonton Stuber
yang nada pengisahannya membuat saya bernostalgia dengan buddy cop movie di era 80-90’an ini.
Exceeds Expectations (3,5/5)
Ooommm bakal nge review parasite gaa??
ReplyDeleteBtw gapapa iko disini dikit, aku udah naksir duluan sama kumail gara2 film the big sick 😆
Filmnya udah turun layar wkw
DeleteDi Jogja masih tayang dan berhubung baru nonton juga, akhirnya aku review. Hahaha. Tadinya mau ngulas Ma tapi males soalnya nggak oke.
Delete