Saat kamu memutuskan mengulik isu yang dinilai tabu untuk diperbincangkan secara umum oleh masyarakat Indonesia dalam suatu film, maka bersiaplah menanggung resiko besar berwujud prasangka dan asumsi. Dua Garis Biru, sebuah film yang menandai untuk pertama kalinya penulis skenario Gina S Noer memegang kemudi penyutradaraan, menerima resiko tersebut tatkala dirinya nekat memperbincangkan “urusan ranjang” di hadapan publik. Lebih-lebih, sasaran utamanya adalah remaja usia belasan yang matanya masih sering ditutup-tutupi oleh orang tua mereka ketika melihat adegan ciuman dalam film. Maka saat gelombang keluhan bergulir di media sosial termasuk dilayangkannya petisi yang meminta film dilarang tayang pada dua bulan lampau (hanya) berlandaskan trailer dan sinopsis, saya tentu tak heran meski sangat menyayangkan. Ditengah iklim masyarakat yang kian konservatif, memperbincangkan soal seks secara terbuka jelas tergolong berani. Apapun tujuannya. Hanya saja, satu hal yang selalu saya dengungkan dan pertanyakan: apakah bijak menilai suatu film dari tampilan luarnya semata? Apalagi, jika kita berkenan menelusuri jejak rekam sang pembuat, Dua Garis Biru berada dibawah naungan Starvision beserta Chand Parwez Servia selaku produser yang terhitung bersih dari kontroversi serta mempunyai visi misi memajukan perfilman nasional dengan mengkreasi film berkonten baik. Jadi apakah mungkin mereka mempertaruhkan reputasi yang telah dibangun bertahun-tahun dengan mengkreasi “film durjana” yang berpotensi merusak generasi muda bangsa ini demi sensasi yang sifatnya sementara? Hmmm…rasa-rasanya mustahil.
Dalam Dua Garis Biru yang guliran pengisahannya dikembangkan sendiri oleh Gina S Noer (Posesif, Keluarga Cemara), penonton diperkenalkan kepada dua karakter yang masih mengenakan seragam putih abu-abu. Mereka adalah Dara (Zara JKT48) yang memiliki prestasi gemilang di sekolahnya dan Bima (Angga Yunanda) yang terbilang santun dalam berperilaku sekalipun nilai akademisnya berada di bawah rata-rata. Kedua remaja dari dua dunia berbeda ini – Dara bergelimang harta sementara kondisi finansial keluarga Bima serba mepet – dipersatukan oleh bangku di kelas. Mereka duduk bersebelahan yang memungkinkan untuk berinteraksi secara intens setiap hari. Dari mulanya sekadar teman sebangku dan sepermainan, hubungan mereka berkembang menjadi percintaan. Baik Bima maupun Dara saling goda satu sama lain, saling menunjukkan perhatian kecil satu sama lain, sampai kerap menjauhi keramaian demi menghabiskan waktu untuk berduaan. Untuk sesaaat, hubungan dua remaja ini terlihat tak ubahnya remaja kebanyakan yang sedang berada dalam fase “cinta monyet”. Namun segala kebahagiaan dan keceriaan yang mewarnai hari-hari keduanya perlahan sirna tatkala mereka memutuskan untuk berhubungan badan. Tanpa dibekali pendidikan seks mumpuni, dua remaja lugu ini pun menghadapi konsekuensi terburuk yang mungkin terjadi, yakni Dara berbadan dua. Mengira segalanya akan usai dengan pernyataan “saya akan bertanggung jawab”, keduanya justru terseret ke dalam persoalan yang jauh lebih kompleks dimana kemarahan, kekecewaan, serta penyesalan dari berbagai pihak bercampur baur menjadi satu.
Seperti telah saya perkirakan, Dua Garis Biru tidak berakhir sebagai tontonan “nakal” yang mengglorifikasi seksualitas maupun kebengalan remaja selaiknya dikhawatirkan oleh sebagian pihak. Sebaliknya, film ini berupaya menunjukkan manfaatnya dengan cara memberi penyuluhan mengenai seksualitas yang notabene hanya dijadikan sebagai “poster pajangan” di Unit Kesehatan Sekolah tanpa pernah disampaikan langsung kepada pelajar. Tentu saja beberapa pihak akan berargumentasi “berpotensi memantik pemikiran kotor remaja” seraya berlindung dibalik kata “tabu” serta “tidak sesuai adat ketimuran” guna menunjukkan keberatannya terhadap konten yang diusung oleh Dua Garis Biru. Akan tetapi, apakah kita akan selamanya menghindari pembicaraan mengenai seksualitas sementara topik ini sejatinya terintregasi secara langsung dengan kehidupan khalayak ramai? Maksud saya, seksualitas tidak semata-mata berkenaan dengan bersenggama karena cakupannya jelas lebih luas daripada itu. Melalui debut penyutradaraannya ini, Gina S Noer mencoba untuk membuka ruang diskusi di kalangan penonton – khususnya anak dengan orang tua – demi meminimalisir ketidaktahuan, kesalahpahaman, serta efek-efek negatif yang mungkin timbul akibat keengganan berbicara soal seks. Oleh Gina, penonton diberi contoh kasus dari persoalan yang dihadapi oleh Bima dan Dara. Keduanya adalah remaja baik-baik dengan masa depan cemerlang menanti, tapi mengapa mereka justru berbuat blunder yang menghancurkan segalanya? Dalam satu dua dialog, kita bisa menarik kesimpulan: tidak pernah ada pembicaraan mendalam antara Bima dengan orang tuanya (berlaku juga pada Dara) mengenai seksualitas dan pihak orang tua lebih menaruh kekhawatiran kepada narkoba lantaran membicarakan heroin beserta rekan-rekan sejawatnya tidak dianggap memalukan.
Dari konflik awal seputar “ngebuntingin anak orang” dan pembicaraan mengenai bahaya kehamilan di usia dini, Dua Garis Biru berkembang menjadi lebih menggigit ketika bahan obrolan turut merangkul sederet isu lain terkait budaya victim blaming yang berkembang di masyarakat (termasuk institusi pendidikan yang semestinya mempunyai pemikiran terbuka), pola asuh orang tua, hingga relasi dalam keluarga. Tidak ada karakter yang sepenuhnya putih bersih disini, tidak ada pula karakter yang diperlihatkan hitam legam tanpa ada setitik nilai kebaikan yang dipercayainya. Baik Bima beserta keluarga, maupun Dara beserta keluarga pernah berlaku, mengambil keputusan, atau minimal mengucap keliru dan itu tidak masalah. Mereka belajar dari konflik yang mengikat mereka, mereka tumbuh menjadi manusia yang lebih baik berkat masalah tersebut. Satu hal yang paling saya sukai dari Dua Garis Biru adalah penggambaran si pembuat film terhadap dua belah keluarga. Mereka diperlihatkan seperti keluarga sangat harmonis di permukaan, tapi kenyataannya berkata lain. Kenyataan yang perlahan tersingkap ketika dua karakter utama bertindak keliru. Pun demikian, penonton tidak dikondisikan untuk membenci mereka lantaran ada sabab-musabab yang membuat kita bisa memafhumi mereka. Ada sisi manusiawi yang tetap dijaga oleh Gina. Bahkan, kita bisa menyematkan simpati kepada karakter-karakter paling menyebalkan sekalipun karena konflik yang tampaknya akan menghancurkan mereka justru menghadirkan pembelajaran besar yang membawa pada kesadaran mengenai pentingnya komunikasi dari hati ke hati antara orang tua dengan anak. Terkesan terlambat, tapi setidaknya mereka bakal enggan sesumbar “saya orang tua yang sempurna dan tak pernah berbuat salah.”
Disamping berkat skrip yang melontarkan bahan obrolan menggelitik pemikiran dan pengarahan sangat baik dari Gina yang cukup sering menyelipkan simbol-simbol sarat interpretasi di sepanjang durasi (seperti buah stroberi yang diasosiasikan dengan janin bayi, atau kerang yang diibaratkan seperti perempuan dengan keperawanannya), Dua Garis Biru sanggup tampil menjulang berkat kontribusi Padri Nadeak yang memberi tangkapan-tangkapan gambar menawan nan menguarkan nuansa intim, mendiang Khikmawan Santosa beserta Syamsurrijal yang memperdengarkan kita dengan suara-suara di sekitar para karakter yang mempertegas terciptanya beragam suasana, Aline Jusria yang penyuntingannya memungkinkan penonton untuk menyelami dunia yang dikreasi oleh Gina, serta barisan pemain yang mempunyai ikatan kuat antara satu dengan lain; Zara JKT48 kembali membuktikan bahwa dia adalah aset berharga bagi perfilman Indonesia, Lulu Tobing memberi akting meletup-letup dalam comeback yang mengesankan, dan Cut Mini berfungsi memberi kehangatan sekaligus bertindak selaku comic relief melalui ujarannya yang cenderung ceplas ceplos. Diantara riuhnya bintang yang memeriahkan Dua Garis Biru, saya menilai Angga Yunanda (sebelumnya dia bermain baik di Sunyi) sebagai bintang sesungguhnya bagi film ini. Dia tampil melas sekaligus mudah diberi simpati sebagai lelaki lugu yang terperangkap dalam keadaan pelik yang semestinya belum dihadapi remaja seusianya. Kita menyesali kecerobohannya, tapi kita juga dibikin tertawa oleh pernyataan polosnya, dibikin bersimpati oleh kesungguhannya untuk memperbaiki keadaan, dan dibikin pula terenyuh saat dia berbincang-bincang dengan sang ibu (Cut Mini) mengenai “surga dan neraka” yang merupakan adegan terbaik dalam film sampai-sampai sulit rasanya untuk menahan-nahan air mata agar tidak bercucuran. Bagus!
Outstanding (4/5)
Om tariiiz aku nungguin terus kok gak update update 😠 *fans cinetariz garis keras*
ReplyDeleteKalo aku, terfavoritnya :
1. Pas ibu nya dara ngeliat dara sebagai anak kecil di dalam mobil. Scene yg cuma beberapa detik tapi langsung bikin mewek.
2. UKS, keren banget sih. Belum pernah liat film indo pake scene kaya gini. Juarak!
3. Momen jikalau nya naif :(
4. Surga neraka!
5. Soundtrack nya yang KOK BISA PAS BANGET
Dan efek sepulang dr bioskop "can anybody tell me...."
Hahaha. Lagi ada kesibukan nih jadi jarang bisa ke bioskop. Tapi sekarang udah bisa curi curi waktu 😁
DeleteWah, momen favoritmu banyak juga yaa. Tapi memang sih, ada banyak adegan bisa dikenang di sini. Sewaktu Lulu Tobing ngajakin ngobrol Zara di kasur itu juga keren. Satu momen yang seketika membuatku iba padanya.
Scene terbaik tuh pas di UKS, one take doang dan keren banget. Semua emosi ada di situ tapi sesuai porsinya dan ngena banget.
ReplyDeleteKelar nonton film ini, baper ga berkesudahan. Script, cast, visual, sound, semuanya JHUARAK!
Yes! Yes! Yes! Adegan ini juga intens sekali. Bikin deg-degan saat menontonnya.
DeleteKemana azaa, ini teh kok baru nongol.
ReplyDeleteKemarin ada kesibukan yang nggak bisa ditunda. Berhubung bioskop jauh dari jangkauan ya terpaksa absen 😁
Deletejadi endingnya mereka cerai ya?
ReplyDeleteBalik ke interpretasi penonton. Nggak pernah ditekanin kalau cerai, jadi ada kemungkinan Bima menanti kembalinya Dara
DeleteMemang pada dasarnya didunia nyata pun sama persis seperti di film ini. Hamil diluar nikah, endingnya kadang laki2nya yg pergi kadang jg istrinya yg pergi :)
ReplyDeleteGmn cara download nya? Kok saya gak bisa download
ReplyDeleteIni kan bukan website download film gratis ai kamu
Delete