“Earthquakes, tsunami, those aren’t the only types of disaster. Our
current situation itself is a disaster.”
Biasanya, saya paling benci
mendengar suara manusia saat pemutaran film sedang berlangsung di bioskop.
Apalagi jika film yang tengah ditonton membutuhkan konsentrasi, perenungan,
atau perasaan dari penonton agar bisa merasuk ke dalam dunia ciptaan sang
sineas. Rasanya ingin sekali menyuwir-nyuwir mulut si ceriwis yang mengganggu
itu! Tapi saat menyaksikan sajian terbaru keluaran CJ Entertainment yang
menjejakkan dirinya di genre komedi laga, Exit,
saya justru merasa sangat lega begitu menyadari bahwa diri ini dikelilingi oleh
penonton-penonton reaktif alih-alih pemalu. Sepanjang durasi mengalun, ada
beragam celotehan meluncur dari orang-orang di sekeliling berbunyi: 1) “Mas, mas, mas, ati atiiii….”, 2) “Ya Allah Ya Rabbi, astaghfirullah…”, sampai
3) “astaga, astaga, astaga, aaaaa… aaaaa…
sik, sik sik, jangan lompat, jangan lompat.” Dan berhubung film debut
penyutradaraan dari Lee Sang-geun ini memang berada di jalur eskapisme yang membutuhkan
partisipasi penonton, maka menonton bersama crowd
yang hidup adalah sebuah berkah lantaran dapat menebalkan sisi excitement yang diusungnya. Terkadang
saya terkekeh-kekeh mendengar celetukan penonton yang heboh itu, tapi lebih
seringnya, tawa dipicu oleh rentetan kekonyolan yang disodorkan oleh Exit. Sebuah film yang berulang kali menempatkan
saya dalam fase bergembira ria karena humornya dan kesulitan untuk
menghembuskan nafas saking tegangnya.
Dalam Exit, Lee Sang-geun tidak mengenalkan kita dengan seorang
protagonis yang memenuhi kriteria sebagai pahlawan sempurna. Sebaliknya, sang
protagonis bernama Yong-nam (Jo Jung-suk) adalah seorang laki-laki pengangguran
yang kerap menghabiskan waktunya untuk bermalas-malasan dan bergantung penuh
pada kedua orang tuanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Selain skill dalam bidang panjat tebing, nyaris
tak ada yang bisa dibanggakan dari Yong-nam. Bahkan keponakannya saja malu
mengakui dia sebagai paman! Yong-nam yang menyadari betul bahwa dia tak lebih
dari sekadar pecundang, mencoba untuk memberikan kesan baik bagi keluarga besar
dengan menghelat acara ulang tahun sang ibu di sebuah gedung mewah bernama
Dream Garden. Disamping berusaha membahagiakan sang ibu, Yong-nam rupanya
menyimpan agenda lain yakni berjumpa kembali dengan pujaan hatinya semasa
kuliah, Eui-joo (Im Yoon-ah), yang bekerja di sana. Untuk sesaat, acara ulang
tahun sekaligus reuni kecil-kecilan ini berjalan secara semestinya… sampai
kemudian sebuah truk melepas gas beracun ke seantero Seoul. Demi menghindari
paparan gas yang dapat membunuh manusia secara seketika ini, para tamu undangan
pun memilih untuk bertahan di dalam gedung dan menunggu diselamatkan oleh tim
SAR. Tapi saat gas tersebut mulai bergerak naik, kemampuan Yong-nam dalam
panjat tebing seketika diperlukan untuk menyelamatkan mereka yang terperangkap
di dalam gedung.
Bagi saya, Exit adalah sebuah tontonan yang memberikan definisi atas kata
“mengasyikkan”. Betapa tidak, sedari menit pembuka, si pembuat film telah
mengondisikan bagi penonton untuk tertambat ke dalam sajian olahannya dengan
meluncurkan serentetan humor pengocok perut. Humor-humor tersebut menempatkan Yong-nam
selaku karakter utama sebagai sasaran tembak. Ini dimungkinkan lantaran
Yong-nam tak kunjung menikah dan tak kunjung pula memperoleh pekerjaan mapan sekalipun
telah lulus dari universitas bertahun-tahun silam. Seperti diutarakan langsung
olehnya, pekerjaan dia sehari-hari hanyalah “tidur,
makan, beol, tidur.” Alhasil, segenap canda tawa yang didapat penonton di
paruh awal ini berkisar pada kenelangsaan Yong-nam sebagai pengangguran
sekaligus jomlo. Terdengar amat klasik, memang. Tapi berhubung Jo Jung-suk
diberkahi comic timing mengagumkan,
saya tak keberatan. Terlebih, kultur yang merongrong kebahagiaan sang
protagonis tak jauh berbeda dengan kultur di negeri ini. Saya pun tak kuasa
menertawakan nasib Yong-nam yang sedikit banyak mengingatkan pada diri saya
sendiri di satu fase. Pilu dan lucu di waktu bersamaan. Selepas babak permulaan
yang cenderung konyol, Exit secara
perlahan tapi pasti mulai meningkatkan intensitasnya tatkala dia membelokkan
kemudi ke ranah disaster film. Sebuah
gas beracun menyebar ke seluruh kota, menciptakkan kericuhan, dan satu-satunya
jalan keluar adalah melewati atap. Saat gas tersebut mendasak bergerak ke atas,
maka satu pertanyaan pun timbul: berapa lama waktu yang tersisa bagi
manusia-manusia ini sebelum mereka akhirnya terpapar gas?
Dari sinilah film bergerak ke
arah yang tidak pernah saya sangka-sangka sebelumnya. Ketimbang sebatas “kita keluar dari gedung ini lalu selamat!”,
Lee Sang-geun memilih untuk meningkatkan ketegangan dengan memberi pertaruhan
lebih besar bagi para karakter. Mereka harus berkejar-kejaran dengan gas putih,
mereka juga harus menerjangnya… di luar gedung. Ya, alih-alih berputar-putar di
satu tempat, si pembuat film memaksa para protagonis untuk berkeliling ke
berbagai lokasi demi menaklukkan “tantangan”. Mereka diminta untuk
bergelantungan, mereka diminta untuk memanjat, dan mereka diminta untuk
melompat. Kekaguman saya terhadap kapabilitas Lee Sang-geun mengemuka tatkala
dia cakap menjaga intensitas di sepanjang durasi mengalun. Terhitung sedari gas
beracun dilepas, penonton tak banyak memiliki kesempatan untuk menghembuskan
nafas lega. Ada kalanya saya mendengar teriakan disertai derai tawa dari
penonton lain, ada kalanya teriakan tersebut diiringi kepanikan. Mereka panik
jika duo Yong-nam dan Eui-joo urung mencapai tujuan akhir: karantina. Kesediaan
penonton untuk bersimpati lalu memberi dukungan kepada karakter-karakter ini
dapat tercapai lantaran Lee Sang-geun bersedia memberi waktu untuk perkenalan dengan
mode mengocok perut di babak pendahuluan. Dari sana, kita mengetahui siapa saja
personil keluarga Yong-nam yang ternyata oh ternyata turut memperoleh
kesempatan untuk berkontribusi pada penceritaan alih-alih dibiarkan sebagai tim
hore belaka. Disamping itu, penonton juga mengetahui seperti apa karakteristik
dari Yong-nam yang sejatinya lumrah dijumpai di sekeliling kita. Mungkin itu
kita, mungkin itu saudara kita, mungkin itu teman kita. Ya, Yong-nam adalah
manusia biasa, begitu juga dengan Eui-joo yang terkadang diperlihatkan sedang menangis
ketakutan.
Berbekal afeksi, penonton terasa
ikut dilibatkan ke dalam film. Penonton diposisikan seperti keluarga besar
Yong-nam yang bersorak-sorai dan berdebar-debar di waktu bersamaan tatkala
melihat Yong-nam berjuang mencari jalan keluar melalui siaran televisi. Chemistry bagus yang terbentuk diantara
Jo Jung-suk dan Im Yoon-ah juga memudahkan bagi kita untuk menaruh kepedulian
kepada nasib mereka. Apakah mereka nantinya jadian atau tidak, itu urusan
belakangan. Yang penting sekarang adalah, mereka harus bisa membebaskan diri
dari segala kekacauan ini. Dan ketika sebuah film dapat membuat penontonnya
menaruh kepedulian kepada karakter-karakternya, pada saat itulah kita
mengetahui bahwa film telah berhasil. Exit
jelas berhasil. Tidak saja berhasil memantik kepedulian, tetapi juga berhasil bikin
terbahak-bahak, lalu mata berkaca-kaca saat film mengulik soal keluarga, dan jantungan! Astagaaa… saya lega sekali tatkala film akhirnya
berakhir. Bisa nafas lagi, saudara-saudaraaa…
Outstanding (4/5)
No comments:
Post a Comment