“Kalau kamu diam saja melihat ketidakadilan, itu artinya kamu sudah
kehilangan rasa kemanusiaan.”
Ada banyak gegap gempita
mengiringi perilisan Gundala. Entah itu
disebabkan oleh faktor sutradara maupun semesta penceritaan ambisius yang
melingkunginya. Pada mulanya, ketertarikan saya terhadap film yang didasarkan
pada komik rekaan Hasmi ini semata-mata disebabkan oleh keterlibatan Joko Anwar
(Pintu Terlarang, Pengabdi Setan) di kursi penyutradaraan.
Saya dibuat bertanya-tanya, bagaimana jadinya saat sutradara spesialis horor
mengkreasi tontonan superhero? Terlebih lagi, genre ini terhitung masih langka
dijumpai di perfilman tanah air. Pada dasarnya, saya sudah memiliki alasan
lebih dari cukup untuk menantikan film ini. Jajaran pemain yang dilibatkan –
hey, ada Abimana Aryasatya lho! – juga amat menarik perhatian. Jika ada yang
kemudian membuat diri ini benar-benar tak kuasa menahan rasa penasaran dan
ekspektasi yang membumbung tinggi adalah upaya Screenplay Films beserta
Bumilangit Studios untuk mengikuti jejak Marvel Cinematic Universe. Dalam artian,
mereka membentuk satu semesta penceritaan bernama Jagat Sinema Bumilangit yang
tersusun atas delapan judul film berdasar komik kepahlawanan lokal keluaran
Bumilangit. Gundala yang memperoleh
suntikan dana cukup besar dipersiapkan sebagai film pertama sekaligus gerbang
pembuka bagi tatanan pengisahan lebih luas dalam dunia superhero tanah air. Sebuah
proyek yang mesti diakui sangat berani, unik, serta ambisius sehingga sulit
untuk tidak menaruh perhatian kepadanya.
Mengingat ini adalah film pertama
dari Gundala – tidak ada
keterkaitannya dengan rilisan tahun 1981 – serta sajian pembuka dalam Jagat
Sinema Bumilangit, maka sudah barang tentu si pembuat film memperlakukannya
sebagai origin story. Di sini,
penonton akan mendapati kisah awal mula si protagonis, Sancaka (Abimana
Aryasatya), bertransformasi dari seorang satpam menjadi pahlawan yang
dibutuhkan masyarakat Indonesia. Perjalanan hidup Sancaka sendiri terbilang
berat karena dia kehilangan kedua orang tuanya semasa masih menduduki bangku SD
(diperankan oleh Muzakki Ramdhan). Sang ayah (Rio Dewanto) yang gigih dalam
memperjuangkan hak-hak buruh ditemukan tewas dibunuh oleh pengkhianat,
sementara sang ibu (Marissa Anita) tak pernah lagi pulang selepas memutuskan
untuk merantau ke Tenggara demi memperoleh pekerjaan. Alhasil, Sancaka kecil
pun terlunta-lunta. Guna menyambung hidup, dia memutuskan untuk mencari
peruntungan di jalanan yang kerap membawanya terlibat masalah dengan para
begundal-begundal serta mempertemukannya dengan Awang (Fariz Fajar) yang
mengajarinya bela diri. Berkat gemblengan Awang, Sancaka tumbuh sebagai pribadi
yang lebih tangguh serta enggan lagi mencampuri urusan orang lain demi keamanan
diri. Sebuah prinsip yang terus digenggamnya sampai tumbuh dewasa. Sancaka yang
memilih untuk tidak peduli pada kondisi sekitar ini seketika diuji tatkala
tetangganya di rusunawa, Wulan (Tara Basro), meminta bantuannya untuk menghalau
sekumpulan preman dalam mengobrak-abrik pasar setempat. Karakter jagoan kita
ini pun lantas dihadapkan pada pilihan dilematis antara bertahan pada
prinsipnya atau menggadaikannya demi kemanusiaan.
Seperti telah ditonjolkan melalui
materi promosinya, Gundala memilih
nada penceritaan yang cenderung mendekati sederet judul dalam semesta film
binaan DC Entertainment ketimbang Marvel Studios. Suram, depresif, serta kompleks
adalah jalan ninjanya. Sebuah pendekatan yang memungkinkan bagi sang sutradara
untuk mempertahankan ciri khasnya. Ya, meski bertengger di genre superhero, nada
pengisahan Gundala akan membuatmu
sedikit banyak teringat pada gelaran horor khususnya di paruh awal yang
menyoroti masa kecil Sancaka. Kita melihatnya terkapar sendirian di rumah
dengan penerangan minimalis, hujan deras acapkali mengguyur disertai suara
gemuruh, sampai dia mengalami penyiksaan oleh bocah-bocah gelandangan yang
menyayat telinganya setelah Sancaka memutuskan untuk mengadu nasib di jalan. Ini
masih belum ditambah penggambaran suasana Jakarta di sekitar sang jagoan yang
dipenuhi dengan kekacauan, sungguh bikin sepaneng.
Selama kurang lebih 30 menit, Joko memilih untuk meletakkan fokus narasinya
pada kenelangsaan Sancaka yang menempanya menjadi pribadi tangguh. Dia tidak
tahan melihat ketidakadilan yang mengoyak rasa kemanusiaannya sehingga dia tak
jarang terlibat dalam situasi tak semestinya. Diperagakan dengan sangat baik
oleh Muzakki Ramdhan yang mempunyai kapasitas mumpuni dalam olah emosi,
penonton pun terikat lalu bersimpati pada karakter Sancaka. Kita ingin
melihatnya memperoleh kehidupan lebih baik, kita ingin melihatnya
bertransformasi menjadi jagoan bernama Gundala, dan kita ingin melihat sepak
terjangnya dalam membasmi kemungkaran di bumi pertiwi. Hingga pertengahan
durasi, Joko setidaknya telah menjalankan tugas dengan semestinya dalam
mengenalkan asal muasal dari sosok dibalik karakter tituler.
Akan tetapi, selepas paruh awal
yang menggigit, Gundala secara
perlahan tapi pasti mulai terasa goyah. Penyebab utamanya adalah keinginan Joko
untuk membahas banyak hal sementara durasi tidak memadai. Disamping melontarkan
kritik terhadap dunia politik masa kini yang salah satunya menyoroti soal wakil
rakyat yang justru lebih akrab dengan mafia ketimbang menyalurkan aspirasi
rakyat, film turut mengedepankan plot mengenai transformasi Sancaka dewasa
menjadi Gundala, Wulan yang dirundung teror dari sekelompok preman, kemunculan villain bernama Pengkor (Bront Palarae)
yang mengendalikan para politikus korup, tersebarnya “serum amoral” yang menciptakan
huru hara di berbagai penjuru Indonesia, sampai salah satu rekan Pengkor, Ghazul
(Ario Bayu), yang rupanya menyimpan agenda tersendiri. Terasa penuh sesak,
bukan? Dan memang itulah yang terjadi. Plot yang bercabang-cabang ini
menyulitkan penonton untuk melihat perkembangan Sancaka sebagai seorang jagoan
secara utuh. Saya masih kebingungan perihal cara kerja kekuatannya, apa saja
yang sanggup dilakukannya, dan bagaimana kekuatan ini mempengaruhi tubuhnya.
Secara ujug-ujug, dia sudah sangat mahir mengendalikan petir yang muncul dari
tangannya. Bagaimana bisa? Maksud saya, dia nyaris tak tampak canggung dengan
anugerah ini. Saya paham sih Joko ingin berbicara banyak hal demi memantik
kepenasaran penonton mengenai apa yang selanjutnya menanti di Jagat Sinema
Bumilangit. Hanya saja, sesaknya narasi ini malah mengurangi intensitas yang
sejatinya telah dipupuk dengan baik di menit-menit pembuka. Ada koneksi yang
terputus dengan karakter Sancaka yang telah susah payah diperagakan secara apik
oleh Abimana Aryasatya, sedangkan Pengkor yang tampak intimidatif di awal
kemunculannya malah terbayangi oleh Ghazul.
Saya benar-benar seperti orang
tersesat saat Gundala berada di paruh
akhir karena informasi terus bergulir secara silih berganti tanpa ada
pendalaman. Satu yang paling sayangkan, anak-anak buah Pengkor. Mereka
ditampilkan sebagai mesin pembunuh penuh gaya dimana masing-masing memiliki
identitas berbeda, tapi begitu diterjunkan ke medan pertempuran, mereka
ternyata bukanlah tanding sepadan bagi jagoan kita. Langsung keok dalam sekali
hantam, menyia-nyiakan tampilan beserta jajaran pemain yang melakoninya. Koreografi
laga yang melibatkan mereka di momen klimaks pun jauh dari kata greget serta
kurang bergairah, padahal Gundala
memiliki beberapa kesempatan baku hantam yang cihuy di separuh awal. Gemas,
kan? Begitulah yang saya rasakan ketika menyaksikan film yang laju penceritaan
di separuh akhirnya mendadak ngebut seolah-olah ingin cepat rampung ini. Saya betul-betul terkejut saat mendapati Gundala ternyata lebih bermasalah di
sektor narasi daripada CGI yang sekali ini mesti diakui cukup mulus. Kenapa film
tidak bertutur secara sederhana mengenai Sancaka dan Wulan saja? Mengapa harus membuat
skala pengisahan yang sedemikian luas di jilid pertama dimana karakter utamanya
sendiri belum terbangun dengan baik? Jika saja film tidak menumpuk banyak
persoalan, bukan tidak mungkin hasilnya akan lebih ciamik. Karena jujur,
sekalipun ada kekecewaan menggelayuti diri, Gundala
masih berhasil membangkitkan semangat saya untuk menantikan film-film lain
di Jagat Sinema Bumilangit yang semoga saja memperoleh penanganan lebih baik.
Note : Jangan buru-buru keluar, ada adegan tambahan menanti.
Acceptable (3/5)
kirain bakal dapat Oustanding min, tapi apa pun tanggapan orang2, saya bakal tetap nonton nya. Karena sangat jarang kan film indonesia bergenre superhero kayak gini. 😁😁😁
ReplyDeleteOh jelas tetap wajib ditonton. Pengalaman menonton orang kan beda-beda. Kemarin sewaktu nonton banyak yang ngasih tepuk tangan kok. Memang masih sangat layak buat diapresiasi terlepas dari kekurangannya 😁
Deleteterlepas dgn adegan aksi yg terasa kurang, Gundala ini ternyata asyik sekali min, banyak kejutan karakternya dgn selipan humor yg buat tertawa. dan setuju aura horor thriller nya joko anwar terasa sekali, apalagi adegan ilusi benar-benar jenius.
Delete
ReplyDeleteFilm Joko Anwar satu ini, sangat kental mengadopsi konsep di film Batman Begins dan The Dark Knight dicampur dengan Brightburn.
Tone drama dan warna filmnya yang dark banget, dibalut sama Thriller dan Horror serta menyinggung perpolitikan dalam negeri, semua berkumpul jadi satu. Style Joko Anwar sangat terlihat di sini.
Sound design yang rapi. Scoring music ala Hans Zimmer. Post ending credit ala Marvel Cinematic Universe. Benar-benar sedang mengadopsi film-film superhero ala Hollywood. Apalagi Bumi Langit memang mulai membuat superhero universe-nya sendiri.
Beberapa efek dan teknis visual keren. Art direction yang juga baik, terutama dalam segi kostum dan make-up.
Sayang, masih menyisakan beberapa plot hole yang mengganggu logika. Dialog-dialog yang kaku. Camera work yang kurang baik di beberapa action sequence membuat penonton sedikit terdistorsi. Bahkan ada yang pergerakan kameranya terasa kurang apik dan dipaksakan meski punya motivasi tertentu.
Film ini, bagi saya pribadi, SANGAT TIDAK BAIK UNTUK DITONTON ANAK-ANAK DI BAWAH USIA 17 TAHUN! Saya sangat tidak menganjurkan para orang tua untuk membawa anaknya menonton film ini meski ini kisah superhero. Banyak violence scene dan bahkan dilakukan oleh anak-anak juga yang bisa menjadikan contoh yang kurang baik bagi generasi muda bangsa.
Meski saya tetap kasih apresiasi dan thumbs up buat Joko Anwar di film ini.
Rate: 7.5/10
Wah terima kasih banyak udah ikutan berbagi ulasan dan pemikiran di sini. Aku sepakat dengan poin-poin yang kamu sampaikan.
DeleteAgak heran sebenarnya film ini bisa lolos dengan rating 13+ dari LSF karena seperti yang kamu bilang, unsur kekerasannya cukup pekat. Tone nya juga kelewat gelap sih buat penonton di bawah usia 17.
Untuk ukuran film superhero pertama (?) di Indonesia, tentunya ini film masih lumayan bgt. Agak berlebihan klo sy kasih skor 4/5, mengingat narasinya emang terkesan terburu2.
ReplyDeleteAda 2 hal yg bikin agak cringe sebetulnya : istilah serum amoral (i mean.. What kind of serum is that exactly?) dan hadirnya anak2 buah Pengkor yg agak2 show off gimanaaa gitu tp akhirnya ternyata bukan tanding sepadan buat Gundala.
Untungnya ada kejutan manis di akhir yg bikin sy penasaran ingin nonton part 2nya. Kemunculan aki2 yg diperankan Sujiwotejo bener2 memorable !!
Cukup seru sih, tp gak bikin sy pengen nonton 2x 😂.
Yes. Endingnya itu yang bikin penasaran buat nunggu kelanjutannya. Seperti apa sih Ghazul dan Ki Wilawuk ini? Apakah mereka villain yang berbahaya seperti tampaknya? Mudah mudahan nggak seperti Pengkor yang ternyata mudah ditaklukkan oleh Gundala.
DeleteKalau di film Gundala jadul, serum itu namanya Serum morfin yang bisa membuat otak manusia yang disuntikkan kacau balau, mungkin efek kecanduan narkoba kali ya maksudnya, walaupun filmnya masih ada kekurangan dan belum sempurna, saya tetap mengapresiasi film ini, kapan lagi kan? Sebagai penggemar komik saya bisa lihat jagoan Indonesia beraksi dilayar lebar, sudah tidak sabar melihat kelanjutan Sri Asih dan juga Jagad sebelah Jagad Satria Dewa (JSD) Indonesia bangga 🇮🇩
ReplyDeleteBener, kekurangan sih pasti nggak terelakkan. Apalagi ini percobaan pertama. Setidaknya, Gundala masih bisa bikin excited buat nungguin film lain di Jagad Sinema Bumilangit. Beneran penasaran dengan Sri Asih.
DeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteBilang aja penasaran sama pevita, min 😂 😛
DeleteTapi sy sebagai sesama cewek aja terkesima liat sri asih walau cuma bbrp detik, aura cantiknya gak hilang dan keingetan terus sampe sy pulang, apalagi buat cowok ya? 🙄
Lho ya jelasss. Tujuan utamanya pengen liat Pevita jadi superhero. Kapan lagi coba? Hahaha
DeleteSaya malah terkesannya adegan Sri Asih ngepret mobil pake selendang.cool banget.trus ngebayang Hulk dikepret gitu... #nglantur 😁
ReplyDeleteJadi ikut ngebayangin Hulk dijepret selendang Sri Asih nih. Woyyyyy. Hahaha.
DeleteAkhirnya ada yang nggak muji muji film ini setinggi langit. Dari kemarin baca di Twitter isinya pujian semua tapi begitu nonton... Nggak sebagus itu cuy! Beberapa bagian keren sih tapi nggak sampe wow banget lah. Adegan ngelawan Pengkor itu apaan banget deh. Masa gitu doang kalah?
ReplyDeleteNggak apa-apa. Mungkin mereka emang excited banget sewaktu nonton film ini. Kemarin saja banyak yang tepuk tangan lho. Aku sampai kaget. Tumben banget nih.
Delete1. Anak buahnya pengkor pada punya karakter, mungkin nanti bakal jadi villain sendiri2 ya? Paling yunik sih asmara abigail. Eh tapi dia berisik bgt, kebanyakan jerit
ReplyDelete2. Asmara abigail sm hannah al rasyid kupikir jd superhero krn pas BLCU ngumumin nama2 tokoh jagat sinemanya, nama mereka kaya nama superhero gitu. Eh tenyata villain ya
3. Gulatnya kurang liar, kerasa bgt koreografinya. Tempo berantemnya terlalu lambat utk ukuran superhero
4. Aku kok kzl ya sama pengulangan adegan di lokasi jalanan dekat perlintasan KA. Di situ mulu perasaan, trus sama2 dipalak ngamen juga.
5. Eh desain visual openernya bagus. Ala2 marvel gitu
1. Tadinya aku pikir gitu atau paling nggak porsi tampilnya banyak. Tapi sepertinya memang hanya segitu sih. Kuciwaaa.
Delete2. Oh nggak, itu campuran kok. Dian Sastro kabarnya jadi villain.
3. Bangetttsss. Berasa lihat lagi latihan. Yang paling bikin gemes ya pertarungan akhir. Nggak ada intens intensnya blasss.
4. Yoih. Efeknya di sini juga kelihatan nggak mulus pun. Keretanya juga ditungguin kaga pernah lewat. 😒
5. Yoihhh
Untung udah baca review negatifnya jadi gak terlalu ekspetasi tinggi, dan dari trailernya sudah gak berharap dari actionnya.. en setelah nonton... wow.. melebihi ekspetasi.. aksinya rupanya keren juga setidaknya bagian awal... bagian akhirnya malah kurang. En gila suasananya mencekam.. ketakutan sancaka kecil terhadap petir tersampaikan.. waktu sancaka tutup jendela.. kesannya jadi horor. Joko Anwar emang the best lah kalo bikin suasana horor. Menurut aku oke sih.. waktu ntn wow.. tapi memang pas bagian akhir terasa menjemukan.. gak connect lagi.. penonton samping gw aja gak lagi menampilkan reaksi kayak waktu awal2 (yg awalnya penuh reaksi jadi diem2 aja). Tapi masih keren lah menurut aku asal jangan berharap berlebih aja.. en jangan baca review seperti ini segera setelah nonton,bikin feel awal yang wow wow jadi sadar lagi, jatuh ke bumi, menyadari kekurangan2 film ini.. haha
ReplyDeleteNggak apa-apa, jadi bisa ngatur ekspektasi biar saat nonton nggak terlalu kecewa. Buatku juga masih layak sekali kok film ini, hanya masalah di paruh keduanya. Terlalu banyak yang pengen dijelasin. Kalau fokus ke karakter Sancaka saja mungkin bakal lebih greget.
Deletegw sih nonton jujur aja, KENTANG, banyak adegan yg harusnya di ceritain ini enggak, contoh KENAPA SANCAKA bisa nerima petir (mungkin di seri selanjutnya GUNDALA PUTRA PETIR) kalau benar, terlalu LATE untuk di ceritakan, GHAZUL pun sepertinya memanfaatkan Pengkor untuk membangkitkan GUNDALA karena tujuannya adalah, melepaskan dewa dia Ki Wilawuk, karena si sancaka sendiri TIDAK tau kalau dia adalah GUNDALA, yg dia tau hanyalah manusia yg bisa menerima PETIR. udah itu aja.
ReplyDeletesoal musuhnya, KEBANYAKAN untuk tampil secara serentak, gw demen banget tuh sm yg dukun ngeluarin bola api, beuh itu bisa jd musuh kuat harusnya, tanpa menggunakan bela diri tp menggunakan manipulasi + Yg megang GOLOK 2 biji, beuh harusbya gundala PAYAH, tiap masing2 musuh paling enggak punya kekuatannya sendiri dan gundala hanya punya petir.
aturan juga saat kena sambaran petir pertama saat waktu kecil disitu dikasi tau kenapa dia bs menerima petir.
banyak yg tanggung, untuk sri asih tampil juga harusnya di shoot dr belakang saat nebas mobil. jangan terlalu vulgar di tampilkan biar lbh penasaran.
Ya sayang banget film ini terlalu banyak masukkin plot jadi beberapa hal krusial kurang tergali. Plot soal politik itu bisa dipangkas dan lebih fokus ke perkembangan karakternya Sancaka termasuk cara main kekuatannya yang nggak terlalu diulas.
DeleteParuh awal sy nilai 9 utk film ini, khususnya sblm sancaka dewasa..tp paruh akhir ya cukup 6,5 lah..saya malah berpikir seandainya ini film dgn cerita awal seperti itu dibuat seperti film merantau(iko uwais), nda usah pake acara superhero2 segala pasti super bagus..
ReplyDeleteBener. Tapi aku paham sih kenapa paruh akhir dibikin seperti itu: biar penonton penasaran dengan film berikutnya. Sayangnya emang terlalu banyak yang dimasukkan jadinya terasa sesak dan terburu-buru.
DeleteBaru nonton. Setuju sih, ceritanya agak sesek ya walaupun aku maklum. Tapi yang paling aku gak maklum, scene anak2 bapak vs gundala. Gemes banget napa siii sesingkat ituuuu. Evolusi sancaka sampe bisa manfaatin power nya juga gajelas, gak kayak shazam yang bener2 belajar pelan2 ttg gimana cara pakai powernya. Sancaka ujug2 bisa gitu :/
ReplyDeleteTapi lumayna bikin penasaran lah sama film2 selanjutnya
Itulah yang bikin gemes. Anak Bapak yang tampilannya keren-keren gitu ternyata muncul beberapa menit doang. Berasa nggak ada perlawanannya 🤷
DeletePoin Sancaka yang tiba-tiba bisa manfaatin kekuatannya itu juga ganggu sih. Bahkan kita nggak pernah beneran ngerti cara kerjanya kek gimana.
Gila detail banget gan reviewnya, keren! Oiya buat yang belum nonton, bisa nih download film Indonesia di mari.
ReplyDelete