“Sepanjang hari aku hidup untuk menolong orang, sepanjang hari itu juga
aku bertahan. Karena aku tahu setelah setiap hari yang berat itu, aku punya
kamu sebagai tujuan pulang.”
Istilah happily ever after usai mengucap janji pernikahan, hanya bisa
dijumpai dalam film komedi romantis maupun dongeng. Realitanya, beuuhhh… tidak seindah itu,
saudara-saudara. Menyatukan hati serta pemikiran dari dua orang dengan
kepribadian dan latar belakang berbeda bukanlah perkara gampang. Ada ego yang
harus dipendam, ada kesabaran yang harus dikemukakan. Apabila masing-masing
pihak enggan mengaplikasikannya, maka konflik berupa pertengkaran demi
pertengkaran adalah dampaknya. Saya memang belum melangkahkan kaki ke
pelaminan, tapi sebagai seseorang yang beberapa kali mengalami kegagalan dalam
membina hubungan percintaan (sad!)
dan kerap mendengar curahan hati saudara perihal kehidupan rumah tangganya,
saya bisa memahami bahwa menjalin hubungan dengan seseorang yang dicintai itu
penuh dengan tantangan. Dibutuhkan kedewasaan, dibutuhkan kesabaran, dibutuhkan
pula ketulusan hati. Melalui film bertajuk Twivortiare
yang merupakan rangkuman dua novel laris rekaan Ika Natassa, Divortiare dan Twivortiare, penonton dipersilahkan untuk melongok jatuh bangunnya
dua karakter yang kerap disebut-sebut sebagai “pasangan ideal” dalam
mempertahankan pernikahan mereka. Melalui cerita yang mereka bagikan, kita
diharapkan dapat berkaca, merenung, lalu menjadikannya sebagai pembelajaran
dalam menjalani hubungan percintaan. Terdengar berat? Well, sayangnya begitulah hidup.
Dua karakter yang dimaksud dalam Twivortiare adalah Beno (Reza Rahadian),
seorang dokter, dan istrinya yang seorang bankir, Alexandra (Raihaanun).
Sepintas lalu, pasangan ini memiliki kehidupan pernikahan yang damai-damai
saja. Mereka menikah atas dasar saling mencintai, kondisi finansial berada di
level serba terpenuhi, dan para mertua pun tidak pernah merecoki urusan
personal keduanya. Mudahnya, mereka adalah pasangan yang ideal. Jadi, apa yang
kurang? Bagi sebagian orang, bisa saja menjawab: mereka belum dikaruniai
keturunan. Namun baik Beno maupun Alex memang belum berencana untuk memiliki
momongan. Mereka fokus dalam mengembangkan karir, karir, dan karir yang lambat
laun berimbas pada pernikahan mereka. Beno kerap pulang terlambat, sementara
Alex yang juga disibukkan oleh pekerjaannya sendiri mulai mengalami
kegelisahan. Benarkah masih ada rasa peduli dan cinta di hati sang suami? Yang
kemudian membuat persoalan semakin menggunung adalah ketiadaan kesempatan untuk
saling berkomunikasi. Alih-alih menyempatkan waktu untuk berbincang intim
dengan sang istri, Beno yang cenderung kaku memilih untuk bungkam. Alex yang
mudah meletup-letup emosinya pun tidak membantu. Alhasil, kehidupan rumah
tangga mereka berantakan yang berujung pada perceraian. Keduanya lantas memilih
jalan berbeda untuk move on dari masa
lalu. Tapi tak peduli sebesar apapun usaha mereka untuk melupakan, mereka tak
bisa menghindar dari kenyataan bahwa mereka sejatinya masih saling mencintai
satu sama lain.
Menonton Twivortiare tak ubahnya sedang menyaksikan kisah kita sendiri atau
seseorang yang kita kenal. Begitu dekat, begitu membumi. Benni Setiawan (Toba Dreams, 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta)
sanggup mengejawantahkan prosa rekaan Ika Natassa yang disadur ke bentuk skrip
oleh Alim Sudio menjadi sebuah tontonan percintaan yang penuh dengan rasa.
Tidak ada glorifikasi romansa yang dipenuhi keindahan beserta untaian kata-kata
manis di sini karena film mencoba menghadirkan sebuah realita dalam hubungan
pasca mengikat janji suci. Sebuah realita yang tak melulu menggembirakan,
tetapi juga menggoreskan rasa sakit dan meninggalkan sesak di dada. Bagaimana
jadinya saat dua orang yang mengaku saling mencintai memutuskan untuk menikah?
Akankah mereka bahagia… atau tidak? Tentu, ada definisi bahagia yang coba
dijabarkan disini. Apakah itu berarti lepas dari segala permasalahan, atau
kesanggupan untuk mensyukuri apa yang telah diperoleh? Bagi Beno dan Alex, mereka
memandang “bahagia” sebagai ketiadaan persoalan. Ada tuntutan-tuntutan yang
diajukan kepada pasangan, ada juga keengganan untuk memenuhi tuntutan dari
pasangan akibat ego yang menggelembung. Mereka memang sukses secara karir, tapi
keduanya mempunyai pandangan hidup yang bisa dibilang belum dewasa. Dari sikap
kekanak-kanakkan mereka inilah, konflik timbul. Konflik mencuat dari perkara
yang terhitung sepele. Tapi benarkah perkara tersebut bisa dibilang sepele?
Sebagai seseorang yang tidak terlibat, kita mungkin bisa berkata demikian.
Namun satu hal yang seringkali kita lupa, pertengkaran dalam hubungan kerapkali
dipantik oleh sesuatu yang dianggap sepele. Ada rasa kecewa yang berbeda ketika
orang yang dicinta (dan dipercaya) melakukan kesalahan sepele tersebut.
Selama durasi mengalun, cekcok
diantara Beno dan Alex memang dipicu oleh hal-hal remeh. Entah karena pasangan
merahasiakan suatu berita, atau karena pasangan enggan menuruti permintaan
sederhana. Mengingat persoalannya simple
saja, mudah bagi penonton untuk terhubung lantaran ada kemungkinan pernah
berada di posisi serupa. Saya pernah mengalaminya dan saya yakin, penonton lain
juga pernah mengalaminya. Chemistry
luar biasa yang dirangkai oleh Reza Rahadian bersama Raihaanun – bahkan saya
berani menyebut mereka sebagai on screen couple paling dahsyat! – dimana
setiap lontaran kata, ekspresi wajah, maupun gestur tubuh diperhitungkan secara
matang, membuat kita dapat ikut menaruh kepedulian terhadap kepedihan
masing-masing sekaligus merasakan api cinta yang masih menggelora. Ada kalanya
kita ikut sebal kepada mereka akibat pertengkaran yang berlarut-larut, tapi
kita tak bisa membenci mereka. Mereka terlalu manis untuk dibenci. Kita justru
berharap, mereka segera melakukan introspeksi lalu memutuskan untuk rujuk
seperti sedia kala. Dalam upayanya mendekatkan diri pada kesan realistis, maka Twivortiare tidak memberlakukan proses
mudah guna menyadarkan dua protagonis mengenai makna cinta. Mereka harus
melewati beberapa kali pertengkaran hebat untuk menyadari bahwa cinta itu masih
ada. Satu hal yang menarik, penonton benar-benar mendeteksi adanya progress dari kedua belah pihak. Beno
secara perlahan mencoba untuk belajar lebih sabar serta terbuka, sementara Alex
mencoba untuk belajar memahami kepribadian sang suami. Walaupun upayanya untuk
belajar seringkali dibantu oleh wejangan sang sahabat, Wina (dimainkan dengan
cemerlang oleh Anggika Bolsterli).
Berkat kesanggupan menyematkan
simpati kepada para karakter serta adanya kedekatan pada materi pengisahan, saya
pun tak kuasa membendung air mata ketika Twivortiare
menghadirkan salah satu momen emasnya di beberapa menit terakhir. Dari sana,
saya tersadar bahwa selama film berlangsung, saya turut diajak untuk kembali
belajar dalam memaknai cinta, hubungan, serta kebahagiaan. Dan memang, Twivortiare mengapungkan topik
pembicaraan menggugah untuk siapa saja yang ingin belajar dalam membina
hubungan percintaan yang sehat. Tak sekalipun terasa menjemukan, film justru
akan mempermainkan emosimu sedemikian rupa. Hatimu akan dibuat teriris-iris
olehnya, kamu akan dibuat terenyuh olehnya, dan kamu juga akan dibuat
tersenyum-senyum gemas olehnya. Bagus sekali!
Note : Pastikan untuk tidak datang terlambat karena adegan pembuka Twivortiare tak hanya keren, tetapi juga
memiliki impak besar terhadap pergerakan plot secara keseluruhan.
Outstanding (4/5)
sungguh voice mail yang menusuk relung jiwa, bikin banjir air mata
ReplyDeleteAdegan ini sungguh lho... Seketika langsung mbrebes mili. Beneran nonjok emosi.
DeleteFilmnya baguss, siap2 sedia tissue
ReplyDeleteYes. Bakal butuh banget itu tissue.
DeleteWoww berarti cuma Antologi Rasa yang kurang ya.
ReplyDeleteAntologi Rasa itu salah satu film terburuk tahun ini, buatku. 😅
DeleteBerharap banget film ini sukses. Supaya twivortiare 2 dijadikan film juga dengan tetep pasang 2R sebagai pemain utama. Setuju banget kalo mereka berdua nyawa besar buat film ini, apalagi mbak Raihaanun. Semoga dia kedepannya masih mau ngambil peran di film2 ngepop kayak gini.
ReplyDeleteAku juga berharap Raihaanun mau main di film komersil lagi. Butuh banget aktris sebagus dia.
DeleteBaru nontonn. Setuju banget kalo soal chemistry. Tapi... Hm, kok aku ngerasa agak hambar ya krn ga bikin emosi berkecamuk kayak critical eleven gituu
ReplyDeleteKalau aku karena pernah berada di posisi mereka ya jadi ngerasa relate sekali ðŸ¤
Delete