“Kamu tahu nggak bedanya kamu sama rumput laut? Kalau rumput laut itu
mengandung nutrisi, kalau kamu mengandung anak-anak kita nanti.”
Biasanya, kita melihat komika
dengan selera humor nyeleneh, Dodit Mulyanto, di jajaran pemain pendukung dalam
film layar lebar guna bertindak sebagai comic
relief. Tapi tim kasting Cinta Itu
Buta ternyata melihat potensi besar dari seorang Dodit. Alih-alih
menempatkannya dalam supporting roles,
mereka memberi kesempatan kepada Dodit untuk unjuk gigi di garda terdepan.
Tidak tanggung-tanggung, film yang merekrut sang komika sebagai peran utama,
berada dalam ranah komedi romantis. Sebuah kejut nyata, bukan? Seperti halnya
sebagian dari kalian, saya pun tak menduga Dodit akan beroleh peran krusial
dalam genre ini. Terlebih lagi, dia bukanlah tipe prince charming atau bad boy
yang belakangan kerap mendominasi kisah percintaan di sinema tanah air. Jadi,
apa yang hendak dikedepankan? Well,
berkaca pada pendampingnya, Shandy Aulia, dan judul yang dikedepankan, penonton
sejatinya sudah bisa meraba-raba narasi maupun pesan yang hendak diutarakan
oleh tontonan ini. Didasarkan pada film Filipina laris berjudul Kita Kita (2017), film yang menandai
kembalinya Rachmania Arunita ke kursi penyutradaraan setelah terakhir kali
menggarap Lost in Love (2008) ini menerapkan
template “beauty and the beast”. Di saat bersamaan, film turut mencoba
hantarkan pesan moral yang cukup menyentuh berbunyi “cinta sejati bukanlah soal penampilan, melainkan tentang ketulusan
hati dan empati” yang seketika membuat diri ini tertarik untuk menjajalnya.
Karakter utama yang menggerakkan
roda penceritaan dalam Cinta Itu Buta adalah
seorang pemandu wisata bernama Diah (Shandy Aulia) yang tinggal di Busan, Korea
Selatan, selama beberapa tahun terakhir. Sekilas lalu, Diah tampak memiliki
kehidupan yang sempurna dan diidam-idamkan oleh banyak orang. Dia telah mapan
secara finansial, dia tampak sangat menikmati pekerjaannya, dan dia pun sudah
menjalin hubungan percintaan yang mesra bersama laki-laki setempat, Jun-ho
(Chae In-woo), yang berprofesi sebagai fotografer. Mudahnya, apa lagi yang
kurang dari kehidupan Diah? Terlihat serba baik di permukaan, ternyata Diah
merasa ada yang mengganjal dari hubungannya dengan Jun-ho. Meski keduanya sudah
bertunangan, Jun-ho tak kunjung mengajak Diah ke pelaminan dan terus mencari
alasan untuk menghindar. Pada satu malam, Diah mengetahui alasan yang
sebenarnya: sang tunangan selingkuh dengan teman baiknya yang juga berasal dari
Indonesia. Dilingkupi kekecewaan amat mendalam, stres pun menyergap protagonis
kita ini yang kemudian berujung pada kebutaan sementara. Untuk beberapa saat,
Diah memilih untuk menghilang dari ‘peredaran’ sampai kemudian dia mendapat
kunjungan tak terduga dari seorang pria humoris asal Indonesia, Nik (Dodit
Mulyanto). Kehadiran Nik ini pada mulanya dianggap mengganggu oleh Diah yang
terlanjur sakit hati kepada laki-laki. Tapi pembawaan Nik yang senantiasa ceria
dan lucu perlahan tapi pasti mulai meluluhkan Diah yang sejatinya membutuhkan
kawan untuk menemaninya yang dirundung luka serta sepi ini.
Di atas kertas, Cinta Itu Buta memang terdengar
menjanjikan. Ada kisah cinta tak biasa antara seorang perempuan buta dengan
laki-laki humoris, ada pemandangan cantik Korea Selatan yang berpotensi menambah
kesan romantis, dan ada Dodit Mulyanto yang kerap mencuri perhatian dengan
kenyelenehannya di film-film terdahulu. Ditambah lagi, materi sumbernya yakni Kita Kita memang cakep sekali (go watch it, guys!). Jadi saat saya
bertandang ke bioskop, harapan yang diboyong pun terhitung tinggi… dan
ternyata, itu bukanlah suatu keputusan yang bijak, saudara-saudara sekalian. Cinta Itu Buta memang bukanlah film yang
buruk, tapi sulit pula untuk menyebutnya sebagai film percintaan yang menggoreskan
kesan baik. Banyak sekali elemen yang urung bekerja dengan baik di sini,
khususnya di sektor drama dan romansa yang sejatinya vital untuk genre ini. Satu-satunya
yang berjalan sesuai dengan pengharapan adalah asupan komedinya – thanks to Dodit. Saya menyukai Dodit
yang tampil nyaman sebagai Nik di sini dimana dia dipersilahkan untuk
mempertahankan ciri khasnya: pria Jawa dengan logat bicara medok dan selera
humor nyentrik. Saya terbahak melihat tingkah polahnya, saya terbahak pula
mendengar celotehan penuh kelakarnya. Alhasil, momen-momen terbaik yang
dipunyai film adalah tatkala Nik memasuki kehidupan Diah yang carut marut. Dimulai
dengan “alarm” di pagi hari untuk membangunkan sang pujaan hati, tukar dialog
berisi gombalan-gombalan nyeleneh, sampai berjalan-jalan bersama mengunjungi
lokasi turistik.
Mesti diakui, Dodit memang
terbilang lihai dalam menghantarkan banyolan. Tapi saat film memintanya untuk
bermesraan dengan Shandy Aulia dan memosisikannya dalam momen dramatik, dia
cenderung tergagap-gagap. Karakternya yang kelewat konyol membuat saya tak
pernah benar-benar bisa diyakinkan bahwa Nik menaruh cinta tulus kepada Diah. Dia
terlihat hanya naksir-naksir biasa, dia terlihat hanya ingin menemukan teman
ngobrol untuk mencurahkan kegundahan hati, dan terkadang dia terlihat mencuri-curi kesempatan alih-alih tulus membantu Diah. Tak ada ekspresi atau gestur yang menyiratkannya. Justru Shandy yang tampak betulan kepincut, meski dia pun bermasalah ketika Dodit tak berada
di sampingnya. Memanggul beban drama, sayangnya Shandy kurang lancar dalam olah
emosi (plus kurang lancar berbahasa Korea yang menjadikannya sangat aneh
mengingat latar belakang karakternya). Beberapa adegan yang semestinya sanggup mengundang
air mata dan simpati penonton kepada karakter Diah, terasa lewat begitu saja
lantaran penyampaian yang kelewat datar. Ditambah dengan laju pengisahan yang
tidak stabil – terkadang mulus, terkadang leletnya kebangetan, terkadang tergesa-gesa – serta keputusan bermain aman dalam mengakhiri narasi menjadikan Cinta Itu Buta semakin kesulitan untuk
membawa penonton terhanyut ke dalam kisah kasih Nik dengan Diah. Memang sih saya
masih dibuat terhibur olehnya dengan segala gelak tawa yang diberikannya. Tapi berhubung
Cinta Itu Buta menjejakkan dirinya di
ranah komedi romantis, maka tentu saja saya butuh lebih dari sekadar tawa. Saya
mendamba rasa hangat, rasa manis, serta tentunya momen pengundang air mata. Dan
ketiganya, sungguh teramat sayang, tidak saya peroleh di sini. Malah saya menjumpai rasa jenuh serta janggal yang sejatinya tidak diharapkan ada.
Acceptable (2,5/5)
huhu sayang banget, padahal pas nonton kita kita endingnya bikin menitikkan air mata. Coba ceweknya bukan shandy aulia ya...
ReplyDeleteHeem. Shandy ini lempeng sekali. Dodit juga sebenarnya bermasalah sih, cuma dia emang oke saat ngelucu.
DeleteYah nggak bagus ya mas? Padahal liat trailernya kayaknya menarik :(
ReplyDeleteDitonton saja kalau penasaran. Siapa tahu malah suka 😁
Deletekalau adaptasi aslinya sdh nonton blm bro ??
ReplyDeleteSudah dong. Kan aku singgung dikit di atas 😁
Deletebagaimana bagus gak,,,
DeleteBagus sekali. Makanya ekspektasi cukup tinggi ke film ini.
DeleteOk entar mau coba versi asli nya saja 😘😁
ReplyDeleteFilm ini terselamatkan oleh akting kocak dodit. Awal film agak jemu. Tp di Endingnya bagus
ReplyDeleteslot judi terpercaya
ReplyDeleteslot terpercaya
slot togel
togel slot
slot online