“Anak yang dianggap hilang, akhirnya pulang.”
Bagi masyarakat Indonesia pada
umumnya, dedemit yang dikenal dengan nama lampor bisa jadi masih terdengar
asing di telinga. Tapi bagi mereka yang tumbuh besar di Jawa – khususnya area
Yogyakarta dan sekitarnya – lampor adalah teror masa cilik yang sulit
dienyahkan. Sebagian orang memang mengenalnya sebatas “hantu penculik bocah”
yang muncul selepas matahari terbenam. Tapi dalam narasi yang lebih luas,
sosoknya dikenal sebagai pasukan Nyi Roro Kidul dari Laut Selatan yang
kehadirannya ditandai dengan adanya suara kegaduhan yang bersumber dari
iring-iringan kereta kuda dan pasukan demit. Terdengar mengerikan, bukan? Begitulah
jika kita memperbincangkan soal mitologi Jawa, aroma mistis dan kleniknya sangat
kuat terasa. Setiap daerah memiliki mitosnya sendiri, setiap daerah mempunyai kepercayaan
yang akan membuat bulu kudukmu meremang. Saking melimpahnya mitos Jawa yang
menyeramkan ini, tak mengherankan jika kemudian pihak rumah produksi di tanah
air pun kerap meliriknya untuk dijadikan bahan utama bagi film horor. Maklum,
selain terdengar seram, latar belakangnya juga filmis. Memungkinkan sekali
untuk diejawantahkan ke tontonan layar lebar, termasuk mitos lampor yang lantas
didayagunakan oleh Starvision guna menghasilkan film seram bertajuk Lampor Keranda Terbang dimana Guntur
Soeharjanto (99 Cahaya di Langit Eropa,
Ayat-Ayat Cinta 2) selaku sutradara
dan Adinia Wirasti yang didapuk sebagai pemeran utama menjajal genre horor
untuk pertama kalinya.
Dalam Lampor Keranda Terbang, Adinia memerankan karakter bernama Netta. Sebuah
tragedi semasa kecil membuat dirinya beserta sang ibu, Ratna (Unique
Priscilla), memilih untuk hengkang dari kampung halaman mereka di Temanggung dan
mencoba memulai hidup baru di Medan. Setelah dua dekade lamanya tak pernah
sekalipun mengunjungi rumah masa kecil – bahkan Netta tak pernah ngobrol lagi
dengan ayahnya (Mathias Muchus) – protagonis kita ini akhirnya terpaksa kembali
demi menuntaskan persoalan. Netta tidak datang sendiri, melainkan turut
ditemani oleh suaminya, Edwin (Dion Wiyoko), dan kedua anak mereka. Pernah berhadapan
dengan lampor yang memberinya trauma berkepanjangan, kunjungan ke Temanggung
jelas tidak menggoreskan kebahagiaan sedikitpun bagi Netta. Terlebih lagi,
kedatangannya ini tepat bersamaan dengan meninggalnya sang ayah. Belum apa-apa,
Netta dituding sebagai pembawa sial oleh masyarakat setempat. Ditengah upayanya
untuk berdamai dengan masa lampau, Netta juga harus menghadapi problematika
dari orang di sekitarnya. Ibu tirinya yang bernama Esti (Nova Eliza) diam-diam
menjalin hubungan gelap dengan pria lain (Dian Sidik), Esti yang kini berstatus
janda juga mengincar harta warisan peninggalan sang suami, dan lampor yang
selama ini memberinya mimpi buruk ternyata masih enggan untuk meninggalkan
kampung. Demi menyelamatkan keluarganya sekaligus menghentikan teror bagi warga
desa tak bersalah, Netta pun berencana untuk mengorbankan dirinya sendiri saat “bereuni”
dengan lampor.
Di atas kertas, Lampor Keranda Terbang terlihat
mempunyai kesempatan untuk dielu-elukan sebagai film horor Indonesia terbaik
tahun ini. Komposisi yang dipergunakannya serba tepat; mitos Jawa yang bikin
bergidik ngeri, jajaran pemainnya kelas A (perlu dicatat juga bahwa Adinia
Wirasti sangat pemilih soal naskah!), dan sutradaranya pun memiliki jejak rekam
yang cukup mumpuni. Jadi, apa yang mungkin bisa salah dari film ini? Jujur,
naskah rekaan Alim Sudio yang sebelumnya mengerjakan skrip Makmum pun sejatinya telah berada di jalan yang benar. Alih-alih sebatas
berisi rentetan teror tanpa asal muasal yang pasti, jalinan pengisahan memberi
kita kesempatan untuk melongok kondisi Netta beserta keluarganya yang terjerat
konflik serba ruwet. Persoalannya memang tergolong umum, kalau tak mau dibilang
klise, yang kerap mendera masyarakat pedesaan di Jawa yang berkisar pada
perselingkuhan dan rebutan harta. Tapi adanya bobot lebih pada narasi ini
memungkinkan bagi penonton untuk mengenal jajaran karakternya yang sengaja
ditempatkan di posisi abu-abu sehingga kita pun menaruh curiga. Bisakah omongan
serta tindakan mereka dipercaya? Jangan-jangan, mereka semua adalah pendosa
yang sepatutnya digondol lampor? Kala menapakkan dirinya di ranah drama yang
menyoroti silang sengkarut keluarga Netta ini, Lampor Keranda Terbang mesti diakui memang cukup nyaman untuk
disimak. Pengalaman Guntur Soeharjanto dalam menggarap tontonan drama
menunjukkan hasilnya di sini. Barisan pelakonnya, terutama Dion Wiyoko yang
berapi-api dan Annisa Hertami yang meyakinkan sebagai penduduk setempat, pun
bermain baik sekalipun Adinia Wirasti yang senantiasa bermuram durja justru
menyulitkan bagi kita untuk menaruh simpati kepada karakter yang diperankannya.
Berjalan dengan cukup mulus di
sektor drama, sayangnya Lampor Keranda
Terbang terhadang banyak kendala ketika membenamkan dirinya di ranah horor.
Memberi penonton sebuah pemandangan visual menyeramkan dalam adegan pembuka
yang memperkenalkan lampor, Guntur nyatanya justru kewalahan dalam menampilkan
teror di tingkatan senada maupun lebih pada menit-menit selanjutnya. Tak ada
lagi yang membuat diri ini merinding, tak ada lagi yang membuat diri ini
terperanjat, dan tak ada lagi yang membuat diri ini ingin memalingkan muka dari
layar. Untuk sebuah film yang mengatasnamakan dirinya sebagai horor, Lampor Keranda Terbang hanya mempunyai
dua momen yang bisa dikategorikan menyeramkan: pembuka dan end credit yang menghadirkan footage
wawancara dari korban-korban lampor di Temanggung. Selebihnya, si pembuat film
terlampau bergantung pada jump scares
yang ironisnya tak satupun darinya yang membuat saya terkaget-kaget. Pengadeganan
sekaligus penempatan musiknya acapkali tak selaras sampai-sampai daya sentaknya
pun turut menguap. Ini masih belum ditambah oleh ketiadaan aturan main yang
jelas untuk sang antagonis (apa
sebetulnya yang diincar oleh lampor secara spesifik? Apa dia memang beraksi
sepanjang tahun atau ada waktu-waktu tertentu? Darimana asal usulnya dan
benarkah hanya meneror satu desa ini?) sehingga posisinya semakin tak relevan dengan jalinan pengisahan sedari pertengahan durasi, dan saya pun mengamini ketika
ada sebuah dialog berbunyi “suka suka
lampor lah” dilontarkan oleh salah satu karakter. Duh.
Mendapati bahwa Lampor Keranda Terbang semakin kehilangan daya pikatnya dari menit ke menit – malah babak klimaksnya terbilang cukup menggelikan dengan adanya satu adegan tabrakan lucu – jelas mengecewakan bagi saya. Terlebih film sejatinya mempunyai segudang potensi untuk menjelma sebagai film horor mengesankan berkaca pada komposisinya yang yahud. Sungguh sangat disayangkan.
Mendapati bahwa Lampor Keranda Terbang semakin kehilangan daya pikatnya dari menit ke menit – malah babak klimaksnya terbilang cukup menggelikan dengan adanya satu adegan tabrakan lucu – jelas mengecewakan bagi saya. Terlebih film sejatinya mempunyai segudang potensi untuk menjelma sebagai film horor mengesankan berkaca pada komposisinya yang yahud. Sungguh sangat disayangkan.
Acceptable (2,5/5)
Thanks for share reviewnya,.
ReplyDeletesalah pilih film ternyata Adinia wirasti ya..
ReplyDeleteMemang secara naskah sih sebenarnya menjanjikan, tapi pengarahannya nggak oke. Banyak keteteran.
Deleteoh ya, ditunggu review "Ratu Ilmu Hitam" nya, salah satu film horor terbaik tahun ini bahkan lebih menyeramkan daripada "Perempuan tanah jahanam" hehe 😁
ReplyDeleteFilm ini syutingnya di tempat ane min, jangan lupa kunjungi kami juga gan
ReplyDeletemoviesider.studio
bagus kan, silahkan kunjungi bakik ye
ReplyDeletemovie.studio
sangat rekomended untuk ditonton. untuk dapat review dan ulasn film menarik lainya kunjungi blog kami.
ReplyDeleteHi great reaading your blog
ReplyDeleteslot online terpercaya
ReplyDeletesitus slot terpercaya
situs slot gacor
cuan slot
situs judi slot