“Nggak enak banget rasanya, kalau sesuatu yang kamu anggap besar nggak ada artinya bagi orang lain.”
Dalam Temen Kondangan tempo hari, salah satu karakter nyeletuk “dijual ke toko barang mantan saja, Mas”
kepada karakter lain yang mempertimbangkan untuk membuang barang-barang
pemberian mantannya demi memenuhi keinginan untuk move on. Ndilalah, MNC
Pictures – yang memproduksi film bersangkutan – memiliki film komedi romantis
bertajuk Toko Barang Mantan yang
memang dicanangkan untuk ambil bagian dalam MCU (Mantan Cinematic Universe). Ada
satu tokoh yang mengaitkan dua judul ini, dan sebagai tambahan untuk fun fact, pasangan suami istri di dunia
nyata, Prisia Nasution beserta Iedil Dzuhrie Alaudin menjadi penghubung lainnya
dimana mereka berlakon dalam dua film berbeda. Tak seperti Prisia yang
ditempatkan di garda terdepan, Iedil diposisikan sebagai pendukung bagi duo
Reza Rahadian-Marsha Timothy. Dan memang, merekalah yang menjadi daya tarik
utama bagi Toko Barang Mantan disamping
premisnya yang terdengar unik: bagaimana jadinya kalau ada sebuah toko yang
spesialisasinya adalah menjual barang-barang kenangan dari mantan dimana cerita
dari setiap barang turut menentukan harganya? Dalam satu masa dimana kata “mantan”
telah diromantisasi sekaligus diantagonisasi sedemikian rupa, tentu topik
pembicaraan yang disodorkan oleh film ini tidak akan mengalami kesulitan untuk
teresonansi dengan publik. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apakah
premis menggiurkannya mampu divisualisasikan secara bernas oleh Viva Westi (Jenderal Soedirman, Koki-Koki Cilik 2) selaku sutradara?
Dalam Toko Barang Mantan, penonton diperkenalkan kepada mahasiswa abadi
bernama Tristan (Reza Rahadian) yang dikisahkan sebagai pemilik dari toko unik
bernama Toko Barang Mantan. Keputusan Tristan untuk mengelola bisnisnya secara
serius ini berdampak pada studinya yang tidak kunjung tuntas dan belakangan
malah terbengkalai. Bersama dengan dua karyawannya, Amel (Dea Panendra) dan Rio
(Iedil Dzuhrie Alaudin), protagonis kita ini berusaha untuk mempertahankan toko
yang turut dimanfaatkannya sebagai pelarian dari kekecewaannya terhadap sang
ayah. Selama bertahun-tahun lamanya, Tristan menjalani perang dingin dengan
ayahnya lantaran enggan menerima kenyataan bahwa posisi almarhum ibunya telah
digantikan oleh perempuan lain. Alhasil, kemarahan, kegetiran serta
ketidakpercayaan pada cinta pun menghiasi hari-harinya terlebih selepas dia
dicampakkan begitu saja oleh sang kekasih, Laras (Marsha Timothy). Ditengah upaya
Tristan untuk melanjutkan hidup – plus menyelamatkan toko yang kondisi
finansialnya cukup mengkhawatirkan – tiba-tiba Laras kembali ke dalam
kehidupannya. Bukan untuk mengajak balikan sih, melainkan memberi undangan
pernikahan untuk sang mantan. Bagi banyak orang, mendapat kunjungan mendadak
seperti ini tentu membuka luka lama yang mungkin belum sembuh. Akan tetapi, bermodalkan
pepatah “masih ada kesempatan selama
janur kuning belum melengkung”, Tristan justru mencari celah untuk
mendapatkan kesempatan kedua. Apalagi, dia mendeteksi adanya keragu-raguan
dalam diri Laras yang belakangan memutuskan untuk menjual cincin pertunangannya
karena satu dan lain hal. Nah lho.
Di atas kertas, Toko Barang Mantan jelas tampak seperti
film komedi romantis yang menggiurkan. Premisnya mengundang keingintahuan, sementara
duo pemain utamanya pun bukan pelakon sembarangan. Bisa dibilang, mereka adalah
aktor/aktris terbaik yang dipunya oleh perfilman Indonesia masa kini. Hanya saja,
untuk bisa benar-benar bekerja sebagai suatu tontonan, tentu bergantung pada dua
komponen tersebut saja tidaklah cukup. Skrip yang baik tetaplah dibutuhkan,
begitu pula dengan pengarahan yang mumpuni. Toko
Barang Mantan, sayang beribu sayang, terkendala di sektor narasi yang
kesulitan dalam mengejawantahkan premis dan semestinya mempunyai peranan
penting dalam membangun kepercayaan penonton terhadap kisah kasih yang
menyelimuti sejoli-sejoli disini. Disamping tidak ada eksplorasi mendalam
mengenai si toko (seperti bagaimana sistem bagi hasilnya atau seberapa besar
popularitasnya di kalangan khalayak ramai), film juga tidak memberikan
eksposisi memadai bagi para karakter utama. Kita tidak mendapat banyak paparan
kehidupan pribadi Tristan maupun Laras, kita tidak pula benar-benar dibuat memahami
karakteristik keduanya selain mereka sama-sama temperamen dan mudah sekali
untuk meledak. Ya, untuk ukuran sebuah film yang melabeli dirinya sebagai “komedi
romantis”, ada banyak kemarahan yang disampaikan dalam nada tinggi
sampai-sampai hamba pun lelah mendengarnya. Bisakah kita beristirahat sejenak
guna mengulik beberapa pertanyaan tak terurai seperti alasan kedatangan Laras
yang sesungguhnya ke toko Bang Tristan?
Nampaknya sih tidak. Toko Barang Mantan bahkan membiarkan
jalinan pengisahan dipenuhi cabang-cabang konflik yang tidak pernah
dikembangkan secara matang, atau inkonsistensi yang mencakup motivasi karakter.
Sepanjang durasi mengalun, Tristan dihadapkan pada problematika dengan sang
ayah, toko kesayangannya, serta ketidaksanggupannya berdamai dengan masa lalu,
tapi hanya obsesinya pada Laras yang dikulik. Itupun, pada akhirnya, tidak
diberikan penyelesaian yang masuk akal apalagi dewasa. Semuanya mendadak khatam
di ujung durasi yang seketika mendorong saya untuk berkomentar, “lho, kok bisa sih?.” Bukan sepenuhnya
menolak, namun proses yang membawanya pada kesimpulan tersebut tidak
ditampakkan secara semestinya alias ujug-ujug
mak bedunduk. Padahal, film sempat menggugah selera tatkala Titien
Wattimena selaku penulis skenario bersama Viva Westi mempersilahkan tema utama,
move on, untuk berbicara lantang. Menghadirkan
ironi melalui sosok Tristan yang membangun bisnis berlandaskan misi mengajak
manusia-manusia budiman untuk melupakan para mantan, tapi sendirinya berjibaku
dengan kenangan bersama Laras. Dia terserang kegagapan dalam mengenyahkan
perasaannya kepada sang mantan. Masih ada cinta yang tersimpan, masih ada pula keinginan
untuk bersatu kembali. Ketimbang mengembangkan konflik batin si karakter utama
ini menjadi narasi kontemplatif yang memungkinkan siapapun untuk teresonansi, Toko Barang Mantan justru membawanya ke
ranah yang lebih klise demi memicu reaksi “awww…
manisnya” yang jelas sama sekali tidak keliru asalkan konsisten sedari awal
mula.
Terkendala di sektor narasi, Toko Barang Mantan untungnya masih
berjaya dalam hal akting. Merekrut Reza Rahadian dan Marsha Timothy untuk
mengisi garda terdepan adalah keputusan paling bijak karena berkat merekalah
film masih menguarkan sepercik pesonanya. Keduanya mampu membuat kita sedikit
bersimpati kepada Tristan dan Laras yang karakteristiknya terlalu sukar untuk
dicintai, keduanya juga mampu membina chemistry
unyu-unyu menggemaskan yang memungkinkan penonton untuk menikmati momen-momen
kebersamaan keduanya. Tengoklah bagaimana mereka memberikan gestur-gestur kecil
(seperti Laras yang tersipu malu kala dirayu Tristan) yang menjadikan beberapa
adegan romantis terasa manis nan jenaka. So
priceless. Performa apik keduanya turut dibantu oleh Dea Panendra yang
bermain dengan sangat luwes sebagai salah satu karyawan setianya Mas Tristan. Keberadaannya,
beserta sederet cameo yang bersedia
tampil total dalam peran nyentrik, merupakan sumber gelak tawa yang dibutuhkan
oleh penonton. Kita tertawa mendengar celetukan-celetukannya, kita juga tertawa
menyaksikan interaksinya bersama karakter lain. Dan tak hanya piawai dalam
menyampaikan humor, Dea pun lihai mengolah emosi yang memungkinkan adegan
pertengkarannya dengan sang atasan berlangsung dramatis. Membuat kita ikut
nelangsa menyaksikan nasib Amel yang dikambinghitamkan, dan membuat saya
seketika berandai-andai, “andai saja para
pemain ini diberkahi skrip yang solid, mungkin saat ini saya sedang menyaksikan
salah satu sajian percintaan dewasa terbaik dalam sinema tanah air.” Cukup
disayangkan.
Acceptable (3/5)
Gatau ya tapi ngeliat judul n trailernya aja udah ga yakin.. Eeeh bener
ReplyDeleteTrailernya nggak oke emang. Romcom tapi isinya mara mara mulu. Filmnya malah agak sedikit mendingan.
Deleteslot online gacor
ReplyDeleteslot online terpercaya
slot resmi
slot resmi gacor
slot resmi terpercaya