June 26, 2010

REVIEW : MESSENGERS 2 : THE SCARECROW


John Rollins (Norman Reedus) harus berjuang untuk menyelamatkan ladang dan keluarganya di saat yang bersamaan. Padang jagungnya mengalami kekeringan lantaran sistem irigasi yang tidak bekerja, semakin bertambah parah dengan hadirnya serombongan burung gagak. John juga berhutang pada bank. Seorang kawan lamanya membujuk John untuk menjual ladangnya, namun ia menolak dengan tegas karena mencium gelagat tidak baik dari kawannya tersebut. Suatu ketika, John menemukan pintu di gudang gandum miliknya dimana dia menemukan sebuah orang - orangan sawah berbentuk aneh. Atas saran dari Jude Weatherby (Richard Riehle), tetangga baru yang misterius, John memasang orang - orangan sawah tersebut di ladang jagung. Semenjak itu, kehidupan John berubah. Padang jagungnya subur dengan irigasi yang lancar, burung gagak bertumbangan hingga kondisi finansial yang membaik. Bukannya senang, John justru merasa takut karena untuk mendapatkan semuanya ini memerlukan tumbal. Siapapun yang menghalangi John akan disingkirkan, tidak terkecuali keluarganya sendiri.



Messengers 2 : The Scarecrow adalah prekuel dari film besutan the Pang Brothers, The Messengers. Dibintangi oleh aktris utama dari The Twilight Saga, Kristen Stewart, film tersebut mendulang dollar dalam jumlah yang lumayan banyak pada tahun 2007 lalu. Berharap meraih kesuksesan yang sama, Stage 6 Films memutuskan untuk membuat prekuelnya 2 tahun kemudian dan langsung dirilis ke dalam bentuk home video tanpa melalui layar bioskop di US. Untuk kawasan di luar Amerika, termasuk Indonesia, Messengers 2 : The Scarecrow sempat mencicipi masa tayang beberapa minggu di bioskop sebelum akhirnya terjun ke DVD tidak lama setelahnya.

Mengetahui bahwa film ini langsung diterjunkan ke dalam format video membuat saya tidak memiliki ekspektasi apapun terhadap film ini, bahkan cenderung meng-underestimate. Poster film dan premis ceritanya sebenarnya cukup lumayan mengundang penasaran, namun sayangnya film arahan sutradara Denmark ini tidak demikian. Opening scene-nya cukup menegangkan tapi sangat spoiler. Bisa dibilang satu - satunya adegan yang bisa membuat kita sedikit menahan nafas adalah opening scene yang spoiler ini. Sementara yang hadir dalam sekitar 91 menit ke depan hanyalah film pengantar tidur. Alurnya begitu datar, predictable dan bertele - tele. Saya tak menemukan satupun adegan yang bisa menggedor jantung, kalaupun ada bukan disebabkan oleh adegan horor yang mencekam, melainkan neng Darcy Fowers yang tercatat dua kali beradegan telanjang secara frontal disini.

Menonton Messengers 2 : The Scarecrow tak ubahnya menonton film horror bikinan sineas lokal, apalagi keduanya memiliki formula yang sama. Cerita datar yang ditutupi dengan sound yang mengagetkan, gambar yang gelap dan pameran aurat dari perempuan bertubuh aduhai. Kalau boleh sedikit spoiler, ending film ini terkesan sangat konyol dan menggelikan, jauh dari kesan menegangkan. Seperti belum cukup parah, akting para pemainnya juga minta ampun datarnya. Entah apa yang terjadi dalam diri saya, tapi rasanya saya ingin sekali melindas Claire Holt dengan traktor. Lindsey Rollins yang berada dalam posisi yang tidak diuntungkan seharusnya mampu membuat penonton simpati, tapi yang ada justru membuat saya ingin mencabut pistol milik Sheriff Milton dan menembakkannya ke semua karakter sehingga film bisa berakhir dengan bahagia. Kenyataannya film ini belum juga berakhir dan saya masih berjuang mendengar teriakan penuh 'makna' dari Claire Holt, mengasihani Darcy Fowers yang tidak memiliki pakaian di saat cuaca begitu dingin hingga Scarecrow yang membuat saya mulas karena bentuknya yang menggelikan alih - alih menyeramkan. 94 menit yang cukup menyiksa. Yang membuat saya tidak percaya, Messengers 2 : The Scarecrow adalah buatan Amerika. Setidaknya film ini cukup tahu diri dengan tidak dirilis di bioskop. Ironisnya, film "super dahsyat" ini justru bertahan cukup lama di bioskop - bioskop negara kita. What the...?

Sayangilah waktu dan uang kalian yang begitu berharga dengan menghindari film semacam ini sebagai tontonan di waktu senggang. Masih banyak film berkualitas di luar sana yang bisa dicicipi. Tujuan saya menonton film ini tidak lain sebagai pemanasan menyambut summer movies berikutnya di bulan Juli dan Agustus. Toy Story 3 rupanya telah meninggikan standar summer movies sehingga dirasa perlu bagi saya untuk menonton film kosong melompong ini sehingga jika saya kembali semangat untuk menanti film yang akan tayang berikutnya.

Nilai = 3/10
Setidaknya masih ada beberapa unsur yang bisa dibilang cukup baik. Tidak hancur seutuhnya.


June 25, 2010

PARADE POSTER FILM (JULI 2010)











MODERN FAMILY (TV SERIES)


Wimbledon terlalu asyik untuk ditinggal sehingga saya terpaksa tidak menonton satu film pun minggu ini, kecuali Toy Story 3. Sebagai ganti ulasan film, saya mencoba untuk mengulas salah satu serial tv baru terbaik musim tayang 2009 - 2010 yang mulai tayang perdana di stasiun TV ABC pada tanggal 23 September 2009. Pihak ABC telah mengonfirmasi secara resmi akan melanjutkan serial ini ke season 2. Jika ditilik dari segi popularitas, Modern Family jelas kalah kalau dibandingkan dengan Glee yang sangat fenomenal. Tapi untuk urusan kualitas, bolehlah keduanya diadu. Serial yang rata - rata tiap minggunya disaksikan 9,47 juta pasang mata ini tercatat setidaknya telah mengantongi 5 penghargaan. Bahkan Modern Family disebut - sebut sebagai kandidat kuat untuk memenangkan penghargaan Best Comedy Series di ajang Emmy Awards, bersaing ketat dengan Glee.

Modern Family mengisahkan tentang kehidupan keluarga Jay Pritchett (Ed O'Neill), putrinya Claire Dunphy (Julia Bowen) dan putranya Mitchell Pritchett (Jesse Tyler Ferguson) yang tinggal di Los Angeles. Claire menikah dengan Phil Dunphy (Ty Burrell) dan dikaruniai tiga anak yang ajaib, Mitchell adalah seorang gay yang menjalin hubungan dengan Cameron Tucker (Eric Stonestreet), keduanya mengadopsi seorang bayi Vietnam bernama Lily, sedangkan Jay menikahi seorang janda Kolombia beranak satu yang usianya jauh lebih muda, Gloria (Sofia Vergara). Sepanjang 24 episode, Modern Family fokus pada permasalahan yang dihadapi oleh tiga keluarga ini. Tiap episode mengetengahkan masalah yang berbeda dan tidak memiliki kaitan sama sekali. Setting waktunya juga cenderung acak dan tidak runtut sehingga tidak masalah bagi penonton untuk melewatkan beberapa episode mengingat kisahnya juga tidak memiliki keterkaitan satu sama lain. Kalaupun ada, tidak berpengaruh pada keseluruhan episode karena setiap episode berdiri sendiri. Hanya saja lebih asyik jika ditonton secara berurutan.


Modern Family mengambil format mockumentary seperti halnya serial komedi bermutu lainnya, The Office. Berbeda dengan The Office, Modern Family cenderung bertutur dengan lebih ringan dan ceria. Setiap permasalahan yang dihadapi oleh anggota keluarga juga sangat realistis karena apa yang mereka alami sering kita jumpai dalam kehidupan sehari - hari. Salut buat tim penulis skenario yang berhasil membuat naskah yang cerdas dan berbobot. Permasalahan yang diangkat sebenarnya cenderung sederhana, namun berkat kelihaian tim penulis skenario berhasil diracik menjadi sebuah permasalahan yang memusingkan sekaligus konyol. Dalam episode Family Potrait, misalnya. Tiga keluarga dikisahkan berencana membuat sebuah foto keluarga. Jika kita yang menghadapinya, tinggal panggil juru foto, jepret, cetak dan pasang di dinding. Tapi hal sesederhana ini justru dibuat rumit oleh mereka. Claire ingin segalanya terlihat sempurna, Phil yang salah kostum hingga beberapa anggota keluarga yang mengalami hal yang buruk. Keributan menjelang pemotretan pun tak terelakkan terlebih ada sebuah insiden yang melibatkan Gloria dan Phil. Sangat seru.

Inilah yang membedakan Modern Family dan serial baru lainnya. Sejak episode Pilot, saya sudah langsung dibuat jatuh hati olehnya. Kedekatan karakter, cerita yang simple dan realistis serta humor yang sangat lucu membuat Modern Family langsung berada dalam posisi teratas serial TV favorit saya, menyingkirkan Glee. Sebenarnya Modern Family cenderung mengingatkan saya pada Friends jika melihat dari aspek karakter dan cerita. Hanya saja, Modern Family fokus pada permasalahan keluarga dan absennya rekaman tawa penonton sebagai backsound. Jika tim penulis skenario tetap solid menghadirkan naskah yang renyah serta rating yang tetap terjaga, bukan tidak mungkin Modern Family akan menjadi serial yang populer. Apalagi ini adalah pertama kalinya sejak Friends dimana saya selalu dibuat tertawa terpingkal - pingkal di setiap episodenya. Humornya sangat renyah, berkelas dan jauh dari kesan dipaksakan. Terkadang kita diajak juga diajak untuk menertawakan diri kita sendiri.

Untuk urusan akting, Modern Family memiliki barisan cast yang kuat. Dari sekitar 11 pemain utama, bisa dibilang Sofia Vergara dan Eric Stonestreet yang paling menonjol. Gloria dengan aksen Kolombia yang sangat kental berhasil dibawakan dengan sangat baik oleh Sofia Vergara. Mengingat Sofia memang asli berasal dari Kolombia, dia tidak memiliki kesulitan berarti dalam membawakan peran ini. Sementara Eric Stonestreet tampil kocak sebagai Cameron yang selalu membuat segalanya menjadi dramatis. Keduanya merupakan nyawa dari serial ini karena tanpa kehadiran mereka Modern Family mungkin tidak akan menjadi selucu dan seseru ini. Tunggu saja scene yang melibatkan Gloria atau Cam atau malah keduanya, dijamin membuat terhibur dan terpingkal - pingkal. Gloria tipe wanita yang emosional sementara Cam selalu membuat masalah sekecil apapun terlihat besar.

Merindukan serial komedi yang memiliki kualitas setara dengan Friends ? Modern Family adalah jawabannya. 24 episode hadir dengan kualitas jempolan, hampir tak cela. Kejeniusan tim penulis skenario dalam meracik skenario yang renyah dan lucu didukung pula oleh barisan cast yang bermain apik. Kedekatan kisah dan karakternya dengan penonton membuat serial ini mudah untuk disukai. Berbeda dengan Glee yang cenderung gelap, Modern Family jauh lebih ringan dan ceria. Bahkan setiap episode selalu didominasi oleh warna - warna yang cerah. Overall, Modern Family adalah sebuah serial komedi yang ciamik dengan dukungan naskah + akting jempolan. Sangat sayang rasanya untuk dilewatkan.

Nilai = 9/10
Naskah renyah, humor cerdas dan karakter yg cenderung loveable. Butuh apa lagi?

June 24, 2010

REVIEW : TOY STORY 3

Pixar mungkin adalah satu - satunya yang tidak pernah menghasilkan film yang mengecewakan bagi saya. Meski Up bisa dibilang kurang greget untuk film buatan Pixar, tapi secara keseluruhan Up tetaplah film yang bagus. Ghibli yang disebut sebagai Pixar versi Jepang bahkan masih memiliki 1 - 2 film yang kurang bagus, sementara Pixar sejauh ini track record-nya sempurna. Toy Story 3 sepertinya bakal memperkuat posisi Pixar dan memperpanjang rekornya sebagai penghasil film paling jempolan di muka bumi ini. Sebelum Toy Story 3 dirilis, saya sudah yakin film ini akan menjadi film yang bagus apalagi bisa dibilang saya tumbuh bersama Woody and the gank. Saya menyaksikan Toy Story 2 di usia 9 tahun dan langsung dibuat terperangah olehnya, seketika itu saya langsung melanjutkannya dengan Toy Story. Kisahnya sangat dekat dengan saya apalagi karakter Andy yang cenderung mirip dengan saya membuat Toy Story sebagai salah satu film animasi favorit saya. Ekspektasi yang tinggi mengiringi langkah saya menuju ke bioskop terdekat untuk menyaksikan Toy Story 3 dalam bentuk 3D.



Andy (John Morris) sudah berusia 17 tahun dan sebentar lagi memasuki perguruan tinggi. Saat usia beranjak dewasa, Andy tidak lagi bermain dengan mainannya dan hal ini membuat Woody (Tom Hanks) dan Buzz Lightyear (Tim Allen) serta mainan yang lain merasa sedih. Terlebih saat Andy memilih Woody untuk dibawanya turut serta sementara yang lain dimasukkan ke dalam kantong sampah. Niat awal Andy adalah menyimpan mainannya ini ke atas loteng, tapi tanpa sengaja oleh ibunya dibuang ke tempat sampah. Merasa bahwa mereka sudah dilupakan oleh tuannya, gerombolan mainan ini memutuskan untuk ikut dengan mainan yang akan disumbangkan ke tempat penitipan anak bernama Sunnyside. Woody sudah memperingatkan mereka bahwa Sunnyside bukanlah tempat yang aman, tapi tak digubris oleh teman - temannya. Sekilas Sunnyside memang terlihat seperti surga bagi para mainan dimana mereka akan diajak bermain setiap hari. Bahkan penghuni lama Sunnyside menyambut mereka dengan ramah. Namun itu hanyalah topeng yang mereka kenakan karena pada kenyataannya mereka tidak sebaik yang Buzz Lightyear and the gank kira.




Sungguh sulit bagi saya untuk mencari letak kelemahan Toy Story 3. Film ini tidak hanya bagus sebagai sebuah sekuel, tetapi juga sangat sempurna sebagai sebuah penutup. Selama satu dekade ini saya tidak menemukan film yang memiliki kualitas sebagus ini. Kalau saya dipaksa untuk menyebutkan kelemahan film ini, mungkin saya akan menyebutkan di beberapa adegan terasa terlalu suram dan menakutkan untuk anak - anak. Tapi sepertinya itu bukan masalah besar. Toy Story 3 adalah sebuah film yang sangat asyik untuk diikuti. Saya rasa tak akan jadi soal jika Pixar menambah durasinya menjadi 10 menit atau 15 menit lebih panjang karena saya merasa filmnya begitu cepat usai. Belum siap untuk berpisah dengan Woody and the gank.

Hingga akhir film, Toy Story 3 berjalan begitu seru. Kita akan diajak tertawa terbahak - bahak melihat tingkah polah Woody and the gank, tegang melihat usaha untuk melarikan diri hingga menangis beruraian air mata di 15 menit terakhir. Bagi yang memiliki ikatan khusus dengan film ini atau para penonton yang mudah menangis, saya sarankan untuk membawa tissue dan menyiapkan mood karena selain mengundang tawa, film ini juga mampu membuat air mata mengalir deras. Jujur, Toy Story 3 adalah film pertama yang membuat saya menangis hingga satu liter air mata. Untunglah kacamata 3D mampu menutupi mata saya sehingga tak seorang pun perlu mengetahuinya saat berada di bioskop, haha.

Disamping karakter lama dari Toy Story 1 & 2, diperkenalkan pula karakter - karakter baru disini, seperti Lotso, boneka beruang merah yang suka memeluk dan berbau strawbery, boneka bayi raksasa hingga Chatter Telephone. Yang paling mencuri perhatian adalah pasangan Ken dan Barbie yang sangat kocak. Maksud hati ingin terlihat romantis, tapi yang terlihat oleh penonton adalah pasangan aneh yang konyol. Dijamin kehadiran mereka akan membuat kalian terhibur. Belum lagi Buzz Lightyear versi Spanyol yang sanggup bikin perut saya sakit lantaran tertawa terbahak - bahak tiada henti melihat polahnya. Mr. Potato Head juga menyumbang satu scene yang mampu membuat mulut penonton terasa kram. Pixar menyajikan humor ini dengan sangat cerdas, tanpa harus kelihatan bodoh, dipaksakan atau malah terkesan murahan. Mereka juga mampu mengaduk - aduk perasaan penonton di paruh akhir film sehingga sulit rasanya untuk bisa membendung air mata, apalagi didukung music score dari Randy Newman yang jempolan. Untuk urusan animasinya saya rasa tak perlu dibahas. Siapapun tahu kalau Pixar adalah salah satu yang terbaik dalam urusan membuat animasi.

Saya sangat menyarankan buat para pecinta film untuk jangan sampai melewatkan film yang satu ini. Toy Story 3 adalah sebuah petualangan yang gila, seru, menakjubkan, fantastis, konyol dan mengharukan. Sepertinya sulit untuk menemukan film sebagus ini dalam waktu dekat. Bahkan saya ragu Pixar akan bisa menghasilkan karya yang jauh lebih bagus dari Toy Story 3. Ini adalah masterpiece mereka. Meski tahun 2010 belum berakhir, saya berani menjamin Toy Story 3 akan tetap berada di posisi puncak film terbaik 2010 versi saya hingga tahun berganti. Menonton Toy Story 3 sungguh menjadi pengalaman seru tak terlupakan.

Nilai = 10/10. Perfecto, excelente!

June 22, 2010

10 FILM TERBAIK 2009 VERSI CINETARIZ

Tahun 2009 telah berlalu sejak sekitar 6 bulan yang lalu. Tapi baru sekarang saya berkesempatan untuk menulis artikel mengenai film terbaik sepanjang tahun 2009. Sebenarnya ide ini sudah ada sejak awal tahun, namun pada saat itu baru segelintir film yang sempat saya tonton. Setelah ngebut menyaksikan film buatan Hollywood yang dirilis sepanjang 2009 via DVD, akhirnya saya beranikan untuk membuat list ini.

Meski disebut sebagai salah satu tahun yang menghadirkan film dengan kualitas yang garing, nyatanya menyusun list 10 film terbaik bukanlah perkara yang mudah, cenderung sulit malah. Tercatat setidaknya ada 50 film lebih yang bisa dikategorikan bagus hanya dari Hollywood saja, belum termasuk film asing, misalnya Indonesia. Itulah mengapa butuh waktu cukup lama bagi saya untuk menyusun list ini dan menyingkirkan sekitar 40 film lain dari daftar. Saya terpaksa tidak memasukkan film non-Hollywood karena masih banyak yang belum saya saksikan, alasan lain adalah untuk mempermudah penyusunan list. Tidak terbayang banyaknya jika saya juga harus memasukkan film asing. Mungkin di kesempatan lain, apalagi ini adalah pertama kalinya saya membuat list semacam ini.


Mengingat banyaknya film bagus yang harus disingkirkan, untuk pembuatan list ini saya terpaksa sangat subjektif. Jika saya tetap memaksa untuk bersikap objektif, maka daftar yang akan muncul terasa aneh dan barangkali terkesan dipaksakan. Film terbaik yang masuk dalam daftar ini adalah film yang berhasil membuat saya puas setelah menontonnya bahkan beberapa diantaranya sanggup membuat saya takjub, meneteskan air mata hingga standing ovation. Jadi jangan heran jika beberapa film tidak sesuai dengan pilihan para kritikus film hebat di luar sana, karena list ini disusun oleh seorang pecinta film amatiran yang tidak paham mengenai film secara menyeluruh.

Saya yakin diantara kalian mungkin ada yang tidak sependapat dengan pilihan saya ini. Yah maklum, kembali lagi ke selera. Namanya saja "10 Film Terbaik Versi Cinetariz" jadi list ini sifatnya sangat subjektif, mencerminkan selera saya. Jadi kalau ada yang tidak sependapat, utarakan saja.

Inilah 10 Film Terbaik 2009 pilihan Cinetariz :

10. ZOMBIELAND

Sejak menit awal, Zombieland sudah menjanjikan bakal menjadi film yang bagus. Opening scene-nya begitu menarik dan kreatif, di sebuah blog bahkan disebut sebagai salah satu Opening Scene terbaik. Ya, saya setuju. Perpaduan komedi dan horror diramu dengan sangat pas. Kurang sadis untuk ukuran film zombie, namun Zombieland berhasil menyajikan sebuah film horror yang pintar dengan ide cerita yang tergolong unik. Siapa yang bisa melupakan 33 rules yang ajaib dan cameo dari Bill Murray ? Jenius!



9. UP

Ah, Pixar. Rasanya saya tidak pernah kecewa dengan film animasi buatan Pixar. Selalu memuaskan dengan kualitas di atas rata - rata. Up adalah film keluaran Pixar di tahun 2009. Sempat mengernyitkan dahi saat mengetahui tokoh utamanya seorang pria lansia. Huh? Ide cerita mereka memang selalu unik. Up berhasil membuat saya berlinangan air mata di menit awal, namun di menit selanjutnya saya justru tertawa terbahak - bahak melihat tingkah polah si bocah pramuka, Russell. Drama, komedi dan petualangan berpadu dengan baik. Sedikit keteteran di paruh akhir, namun tidak berlangsung lama. Animasinya halus, hampir tak ada cela. Tak salah rasanya jika saya menyebut Pixar sebagai Rajanya Animasi 3D.



8. STAR TREK

Jujur, saya bukan termasuk Trekkie. Bahkan saya tidak pernah bisa menikmati film sejenis Star Trek maupun Star Wars. Saat kritikus memuji film ini setinggi langit, saya masih tetap mencibirnya. Hingga akhirnya saya coba untuk menontonnya. Hasilnya ? hitung saya sebagai Trekkie. Jatuh cinta pada pandangan pertama. J.J. Abrams berhasil membuat Star Trek yang tidak segmented, sehingga bisa dinikmati oleh non-Trekkie. Pemilihan cast yang pas, visual efek yang dahsyat namun tidak berlebihan hingga plot yang kuat. Film ini berhasil membuat saya penasaran terhadap seri Star Trek. Sebuah prekuel yang bagus dan cemerlang!



7. SHERLOCK HOLMES

Sound system yang buruk dan gambar sedikit blur adalah masalah yang saya hadapi saat menyaksikan Sherlock Holmes di layar bioskop. Biasanya hal itu mengurangi mood saya dalam menonton, tapi pada kenyataannya saya tetap terpuaskan oleh Sherlock Holmes. Itu artinya, film ini memang sangat bagus, bagi saya. Bukan sebuah adaptasi yang sempurna, tapi Sherlock versi Guy Ritchie tetap berhasil menghadirkan hiburan yang menarik dengan joke - joke yang segar. Robert Downey Jr kembali menunjukkan kebolehan aktingnya disini, bahkan chemistry-nya dengan Jude Law saya bilang cukup manis. Misterinya membuat penasaran, adegan laganya seru, humornya segar, sinematografi & tata artistik menawan hingga akting yang memukau. Memuaskan ? tentu saja =)


6. DRAG ME TO HELL

Silahkan tidak setuju dengan pilihan saya ini, tapi bagi saya Drag Me to Hell adalah film horror terbaik sepanjang tahun 2009. Ciri khas Sam Raimi kembali dimunculkan dalam film besutannya ini. Bagi yang tidak terbiasa dengan style bung Raimi mungkin akan kesulitan menikmati film ini. Tidak hanya menyajikan horror yang seram, Drag Me to Hell juga merupakan film yang menyenangkan untuk ditonton, lucu dan menghibur. Sepanjang film horror dan komedi tampil silih berganti bahkan terkadang malah saling berpadu sehingga yang terjadi adalah kita dibuat takut dan menjerit dan kemudian tertawa. Bisa dibayangkan ? saya mengalaminya sendiri. Haha. Sungguh, Drag Me to Hell sangat menghibur bagi saya. Opening scene film ini juga tergolong bagus, sangat mencekam.



5. THE HANGOVER

Setelah selesai dengan Drag Me to Hell, silahkan lanjutkan dengan The Hangover maka harimu akan menjadi indah. The Hangover adalah sebuah film komedi gila yang sangat cerdas, lucu, menyenangkan, menghibur sekaligus menegangkan. Premisnya saja sudah cukup menjanjikan. 100 menit paling menyenangkan dalam hidup saya saat menyaksikan film sinting ini. Chemistry trio Cooper - Galifianakis - Helms terasa sangat klop. Ken Jeong berhasil membawakan peran antagonis yang konyol dengan sangat baik. Misteri tentang apa yang terjadi semalam digulirkan dengan sangat baik sehingga membuat penonton penasaran. Film yang cocok ditonton sebagai penghilang stres.


4. AVATAR

Proyek raksasa James Cameron yang konon kabarnya disuntik dana hingga $500 juta ini berhasil menempati posisi puncak film terlaris sepanjang masa. Avatar memang cenderung lemah di sektor naskah, tapi special effect yang disajikan sangatlah menawan. Untuk bisa merasakan sensasinya, film ini memang kudu disaksikan dalam format 3D mengingat filmnya memang ditujukan untuk format tersebut. Sangat terasa sekali perbedaannya saat disaksikan dalam layar 2D, apalagi layar kaca. Avatar berhasil menyuguhkan tontonan aksi yang seru dan pameran special effect yang canggih dengan elegan. Pandora terlihat sangat menakjubkan dan indah.


3. INGLOURIOUS BASTERDS

Quentin Tarantino adalah sutradara favorit saya, selain Tim Burton. Saya menyukai semua film buatan QT, kecuali Kill Bill vol. 2 yang menurut saya kurang greget. Inglourious Basterds memakai gaya penuturan yang sedikit nge-pop dengan harapan bisa menarik lebih banyak penonton. Seperti biasa, film besutan QT memang jenius. Ide ceritanya fresh dan brilian didukung oleh ensemble cast yang menawan. Brad Pitt bermain sangat bagus disini, namun bintang sesungguhnya adalah Christoph Waltz yang berperan sebagai Hans Landa yang sadis. Akting Waltz sangat meyakinkan, dia adalah aktor terbaik tahun 2009! Dengan durasi yang panjang, film ini tidak terjebak sebagai drama yang membosankan karena banyak kejutan di setiap adegannya. Yang paling membuat saya shock adalah scene di bioskop pada paruh akhir menjelang ending. Salah satu adegan paling mengerikan yang pernah saya tonton dalam film.


2. (500) DAYS OF SUMMER

Bertutur dengan gaya yang non-linear, (500) Days of Summer menjadi film yang aneh bagi sebagian orang. Apalagi editing film ini juga tidak biasa, cenderung unik. Namun bagi saya itulah poin plus dari film ini. Ditambah dukungan skenario yang mempesona, duo Joseph Gordon-Levitt dan Zooey Deschanel yang bermain apik hingga soundtrack yang manis, membuat (500) Days of Summer menjadi sebuah film romcom yang sulit untuk dilupakan. Jauh dari kesan cheesy dan konyol, film ini dipenuhi dengan dialog yang yahud. Penempatan lagu sebagai background juga pas ditambah endingnya yang bagus. Bisa dikatakan, (500) Days of Summer adalah film romcom terbaik dekade ini.



1. UP IN THE AIR

Film favorit saya di tahun lalu. Up in the Air benar - benar membuat saya terkesan. Bahkan film ini langsung saya masukkan sebagai salah satu film favorit saya sepanjang masa. Film yang sangat bagus, sulit menemukan celanya. Naskahnya sangat brilian, permainan dari cast-nya mempesona hingga tata teknis yang digarap sangat baik. Sayangnya, juri Oscar memutuskan untuk tidak memberikan film ini satu piala pun di ajang Oscar awal tahun ini. Sadis! George Clooney menunjukkan akting terbaiknya disini, begitu pula Anna Kendrick yang tampil sangat baik. Scene saat Anna diputus oleh kekasihnya serta penolakan adik George merupakan scene terbaik di film ini, sangat berkelas. Jangan lupakan dialog - dialognya yang cerdas dan menyentil. Setelah sukses dengan Juno dan Thank You For Smoking, Sekali lagi Jason Reitman berhasil membesut film cerdas. Dengan pendekatan yang personal, Up in the Air adalah film terbaik sepanjang tahun 2009.


HONORABLE MENTION :

- DISTRICT 9
- CORALINE
- LAW ABIDING CITIZEN
- KNOWING
- THE PROPOSAL
- THE BLIND SIDE

- JULIE & JULIA

- WATCHMEN

- ANGELS & DEMONS
- ICE AGE : DAWN OF THE DINOSAURS

REVIEW : THE KARATE KID (2010)


The Karate Kid (1984) bisa dibilang adalah salah satu franchise yang sukses di tahun 80-an. Tidak hanya menelurkan tiga sekuel serta sebuah remake, The Karate Kid juga berhasil melambungkan nama Ralph Macchio serta almarhum Pat Morita. Setelah sekuelnya yang ketiga, The Karate Kid tidak dilanjutkan ke film keempat lantaran hasil box office-nya yang makin terpuruk. Butuh waktu sekitar 16 tahun untuk menghidupkan kembali The Karate Kid. Meski memakai embel - embel remake, nyatanya The Karate Kid versi tahun 2010 ini memiliki jalan cerita yang sama sekali berbeda dengan film aslinya. Bahkan pemakaian judul Karate Kid sebenarnya cukup dipertanyakan mengingat film ini lebih fokus pada Kungfu ketimbang Karate. Didapuk sebagai bintang utama adalah putra dari Will Smith, Jaden Smith, dan Jackie Chan yang mencoba untuk bermain serius disini.

Dre Parker (Jaden Smith) mengikuti ibunya (Taraji P. Henson) pindah ke Beijing dari Detroit untuk memulai hidup baru. Bukan hal yang mudah bagi Dre untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar mengingat budaya China yang jauh berbeda dengan Amerika. Belum apa - apa, Dre sudah mulai merasa tidak kerasan dengan tempat tinggal barunya dan minta kembali ke Amerika. Satu - satunya yang bikin Dre betah di Beijing adalah Mei Ying (Wen Wen Han), seorang gadis lokal yang lihai memainkan biola. Di saat Dre mulai menemukan sesuatu yang menarik baginya, dia kembali dihadapkan pada masalah. Cheng (Zhenwei Wang), seorang jagoan kungfu yang sebaya dengannya, suka mengganggu dan menghantuinya bahkan meminta Dre untuk tidak mendekati Mei Ying. Bentuk gangguan yang diterima Dre berupa fisik dan mental sampai - sampai ibu Dre ikutan mencak - mencak melihat anak semata wayangnya babak belur. Tidak tahan karena terus diganggu, Dre melakukan pembalasan dengan menyiram Cheng dan teman - temannya dengan air. Hal ini justru membuat Cheng and the gank naik pitam dan menghajar Dre habis - habisan tanpa ampun. Untungnya, Mr. Han (Jackie Chan), seorang teknisi di tempat Dre dan ibunya tinggal, datang di saat yang tepat. Cheng and the gank berhasil dilumpuhkan dan dengan keahlian medisnya, Mr. Han berhasil mengobati luka Dre. Setelah luka Dre sembuh, Mr. Han dan Dre menuju ke tempat Cheng belajar kungfu untuk membuat perdamaian. Alih - alih setuju, Master Li (Yu Rongguang) justru meminta agar Dre bertarung dengan Dre. Tanpa diduga, Mr. Han setuju dengan tantangan Master Li. Akan tetapi, mereka tidak akan bertarung di jalanan, melainkan dalam turnamen. Mr. Han juga meminta kepada mereka agar tidak mengganggu Dre hingga turnamen berakhir. Sepakat. Karena Dre sama sekali tidak memiliki kemampuan dalam kungfu, akhirnya Mr. Han turun tangan untuk memberinya pelatihan. Metode pelatihan kungfu yang diajarkan oleh Mr. Han ternyata berbeda dari kebanyakan hingga sempat membuat Dre merasa frustrasi.

Dengan cerita yang sama sekali baru, The Karate Kid (2010) justru terasa lebih fresh. Ide cerita yang ditawarkan sebenarnya sederhana dan cenderung klise, namun entah mengapa Christopher Murphey berhasil meraciknya menjadi sesuatu yang menarik. Di beberapa bagian memang terasa bertele - tele dan berlebihan, terutama saat menginjak pertengahan film, tapi begitu memasuki paruh akhir The Karate Kid kembali enak untuk dinikmati. Bagi yang mengharapkan The Karate Kid sebagai sebuah sajian komedi mungkin akan dibuat kecewa film ini memiliki tone yang serius dan cukup muram. Jackie Chan yang biasanya tampil energik dan humoris hampir tidak menunjukkan senyuman disini. Karakter yang dia bawakan disini cukup berbeda dengan karakter yang biasa dia perankan. Sebagai seorang teknisi ahli kungfu yang ternyata menyimpan masa lalu kelam, Jackie cukup berhasil membawakan perannya. Jackie Chan yang kita lihat di The Karate Kid sama sekali berbeda dengan Jackie yang biasa kita saksikan dalam film aksi - komedi. Saya pribadi cukup terkesan dengan usaha Jackie Chan dalam membawakan peran serius.

Jangan khawatir, unsur komedi tetap diselipkan dalam film ini. Jaden Smith berhasil mencairkan suasana dengan aksi tengilnya dan cenderung komikal. Beberapa kali saya dibuat terhibur olehnya. Tidak sebaik Will Smith, tentu saja, tapi bakat Jaden masih bisa terus diasah mengingat karirnya masih sangat panjang. Kemampuannya dalam kungfu juga membuat saya terpukau. Sebagai informasi, di kehidupan nyata, Jaden Smith memang memiliki kemampuan kungfu yang cukup baik. Aksinya saat duel dengan Cheng dan lawan - lawannya di kompetisi berjalan cukup seru dan saya berhasil tegang dibuatnya, meski apa yang terjadi selanjutnya sudah bisa ditebak. Oia, chemistry antara Jaden dengan Taraji, Jaden dengan Jackie dan Jaden dengan Wen Wen juga berhasil dibangun dengan baik. Cukup disayangkan porsi tampil Taraji P. Henson tidak begitu besar disini. Semenjak aktingnya yang memukau di The Curious Case of Benjamin Button, saya selalu penasaran dengan apa yang akan dia tunjukkan di film berikutnya. Sayangnya naskah buatan Christopher Murphey membatasi ruang gerak Taraji untuk mengeksplor kemampuan aktingnya.

Membicarakan mengenai adegan laga. The Karate Kid tentu banyak menawarkan sajian yang satu ini. Hanya saja untuk versi terbaru ini lebih banyak didominasi oleh drama. Dengan durasi mencapai 140 menit, mungkin agak sedikit berat bagi penonton cilik untuk bisa menikmatinya terlebih drama yang disajikan cukup panjang dan mendominasi lebih dari separuh durasi film. Dibutuhkan kesabaran. Disinilah kelemahan utama The Karate Kid. Bagi penonton dewasa mungkin bukan masalah besar apalagi drama yang dihadirkan sebenarnya cukup menarik untuk diikuti walaupun cenderung bertele - tele, tapi bagi penonton cilik yang tidak terbiasa dan mengharapkan sajian yang seru akan dibuat bosan olehnya. Adegan laga yang sesungguhnya baru hadir di penghunjung film yang untungnya dibuat cukup seru. Hampir lupa, suguhan pemandangan kota Beijing yang padat serta pedesaan China cukup memanjakan mata dan membuat saya jadi ingin sekali pergi ke sana suatu saat, haha...

Overall, The Karate Kid bukanlah sebuah film keluarga biasa karena banyak sekali nilai - nilai serta pesan moral yang bisa diambil dari film ini. Dari deretan summer movies, The Karate Kid adalah film kedua setelah Iron Man 2 yang berhasil memuaskan saya setelah menontonnya. Sangat menghibur!

nilai = 7/10




June 16, 2010

REVIEW : PRINCE OF PERSIA : THE SANDS OF TIME

Di mata pecinta film, film adaptasi video game telah memiliki citra buruk lantaran dari sekian banyak adaptasi tak satupun yang bisa dikategorikan sebagai film bagus. Ada satu dua yang bisa dibilang lumayan, tapi jumlahnya kalah telak jika dibandingnkan dengan yang gagal. Masih teringat di benak kita betapa buruknya kualitas Street Fighter : The Legend of Chun Li, Max Payne hingga yang disutradarai oleh Uwe Boll macam House of the Dead. Seperti sudah menjadi adaptasi kutukan karena hingga saat ini belum ada satupun yang bisa menyajikan film adaptasi video game yang memuaskan bagi penikmat game-nya, atau setidaknya bagi para penonton awam. Bisa dibilang hanya Resident Evil dan Tomb Raider yang lumayan sukses. Di tahun 2010 ini kembali hadir sebuah film yang diadaptasi dari video game populer, Prince of Persia. Disokong oleh Walt Disney dan munculnya nama Jerry Bruckheimer sebagai produser serta Mike Newell bertindak sebagai sutradara, muncul secercah harapan akan kebangkitan dari genre ini. Tapi, apakah kenyataannya seperti itu ?

Pada abad ke-6 Kerajaan Persia memiliki daerah kekuasaan yang sangat luas dan terkenal memiliki tentara yang kejam. Selain memiliki raja yang bijaksana, kerajaan Persia saat itu memiliki para pangeran yang gagah berani dan menjunjung tinggi hukum. Dastan (Jake Gyllenhaal) adalah anak yatim piatu yang tiba-tiba berubah nasibnya setelah diadopsi oleh raja Persia. Walau telah memiliki dua orang putra, sang raja tetap memutuskan membawa Dastan kecil ke dalam istananya raja yang megah. Ada sesuatu dalam diri Dastan sehingga Raja mengangkatnya jadi putra ketiganya. Seiring waktu, para pangeran yang dulu kecil kini telah menjadi dewasa dan siap memimpin salah satu tentara yang paling ditakuti saat itu. Pangeran Tus (Richard Coyle) yang bakal mewarisi kursi sang ayah akhirnya memimpin pasukan Persia untuk menyerang kota suci Alamut yang dipimpin oleh seorang putri cantik bernama Tamina (Gemma Arterton). Ternyata penyerangan ke kota suci Alamut ditentang sang Ayah yang juga Raja Persia. Karena menurutnya, Raja Sharaman (Ronald Pickup), butuh lebih dari sekedar petunjuk untuk menyerang kota suci itu. Tapi pesta kemenangan tetap berlanjut dan petaka muncul pada hari perayaan jamuan besar untuk sang raja. Kematian menjemput Raja Sharaman yang dikenal bijaksana itu. Dastan yang merasa dijebak oleh Tus akhirnya diburu dan dikejar-kejar oleh pangeran Garsiv (Toby Kebbell). Dengan bantuan putri Tamina akhirnya Dastan berhasil kabur dan mencoba menjelaskan kepada sang paman Nizam (Sir Ben Kingsley) bahwa ia tidak bersalah. Kunci kebenaran Dastan terdapat pada sebuah belati milik putri Tamina yang ternyata memiliki kekuatan yang sangat besar. Berhasilkah Dastan mengungkap siapa pembunuh Sharaman dan bagaimana nasib kerajaan Persia selanjutnya?

Mengharapkan Prince of Persia : The Sands of Time sebagai sebuah film adaptasi video game yang bagus adalah suatu kesalahan yang besar. Film ini memang tidak seburuk film yang telah disebutkan di atas, tapi masih jauh jika dibandingkan dengan Resident Evil maupun Tomb Raider, setidaknya bagi saya. Dari segi special effect dan adegan aksi, Prince of Persia memang unggul. Adegan Parkour yang ditampilkan dalam sebuah scene juga lumayan memukau. Hanya saja naskah garapan tim penulis skenario, Jordan Mechner – Boaz Yakin – Doug Miro – Carlo Bernard, terasa sangat dangkal dan datar. Parahnya, hal ini berimbas ke hampir semua sektor, kecuali adegan aksi tentunya. Menonton sebuah film petualangan dengan sajian aksi yang memukau tapi didukung naskah yang lemah bukanlah suatu pengalaman yang menyenangkan. Meski saya dibuat terpukau di beberapa scene, tapi tetap saja terasa ada yang kurang.

Departemen akting, sayangnya, juga tidak membantu banyak. Bisa dibilang hanya Alfred Molina yang bermain bagus disini, sementara Ben Kingsley seperti kehilangan pesonanya. Jake Gyllenhaal dan Gemma Arterton hanya bagus saat mereka berpasangan, cukup menghibur. Tapi setelah berpisah, mereka seperti kebingungan memainkan karakter mereka, bahkan Gemma masih terlihat seperti Gemma, alih – alih Princess Tamina. Nuansa romantis di film ini nyatanya juga gagal diwujudkan oleh Mike Newell. Padahal selama ini om Newell dikenal jago dalam meracik adegan romantis dalam film besutannya. Ketimbang sibuk memikirkan naskah yang penuh dengan lubang dan membuat adegan romantis, Mike Newell justru sibuk memikirkan cara menghadirkan adegan aksi yang spektakuler. Sepertinya beliau enggan menyia-nyiakan bujet yang sedemikian besar hanya untuk sajian drama romantis. Akibatnya, Prince of Persia hanyalah menjadi bagian dari pembuka sajian summer movies biasa yang mudah dilupakan. Saat ini mungkin kita dibuat terpukau olehnya, tapi beberapa tahun ke depan mungkin tak ada yang mengingat film ini. Harapan pecinta film dan game akan hadirnya film adaptasi video game yang bagus sekali lagi gugur. Sepertinya, adaptasi gim memang lahan terlarang yang harus dijauhi oleh para filmmaker yang ingin menghadirkan hiburan berkualitas ke penonton.

Nilai = 5/10

June 10, 2010

REVIEW : MINGGU PAGI DI VICTORIA PARK


Tidak pernah terlintas di pikiran Mayang (Lola Amaria) untuk menjadi TKW. Namun atas desakan dari sang ayah, Mayang berangkat ke Hongkong dengan tujuan untuk mencari adiknya, Sekar (Titi Sjuman) yang lebih dahulu menjadi TKW dan sekarang entah berada di mana. Mayang sendiri cenderung tidak ikhlas dalam mencari adiknya mengingat hubungan keduanya yang tidak baik. Sekar adalah anak kebanggaan sang ayah dan hampir semua orang menyayangi Sekar sementara Mayang cenderung terpinggirkan. Adalah Vincent (Donny Alamsyah), orang pertama yang mengatakan bahwa Mayang lebih cantik dari Sekar. Pada awalnya kehadiran Vincent bagi Mayang sangatlah mengganggu, tapi belakangan dia menyadari ketulusan hati Vincent dan bersedia menerima pertolongannya. Minggu Pagi di Victoria Park tidak melulu berkisah tentang Mayang yang mencari adiknya. Sejatinya film ini ingin memaparkan kehidupan TKW di Hong Kong yang bisa dibilang kehidupannya lebih beruntung jika dibandingkan dengan TKW di negara lain. Tidak mudah untuk bisa menjadi TKW di negara ini, dibutuhkan pendidikan dan keterampilan khusus.

Satu kata yang terlontar dari mulut saya seusai menonton film ini, "dahsyat!" Perfilman Indonesia tengah dilanda kekeringan yang teramat mengerikan dan sangat sulit untuk menemukan film yang kualitasnya layak tonton. Jadi jangan salahkan saya jika kemudian saya dibuat terpukau oleh Minggu Pagi di Victoria Park. Film ini memiliki kualitas jauh di atas film Indonesia lain yang dirilis 4 bulan terakhir ini. Lola Amaria mencoba menyuguhkan sebuah film dengan tema yang berbeda dan berani melawan arus dengan tidak menampilkan setan serta seks di film besutannya ini. Apa yang menjadi topik bahasan utama film ini dibahas dengan natural dan tidak berlebihan. Bahkan Lola Amaria sanggup menjadikan Minggu Pagi di Victoria Park sebagai sajian drama yang memikat meski tema yang diangkat bisa dibilang cukup berat. Ada kalanya film ini terlalu berapi - api dalam membahas permasalahan TKW dan cenderung menyindir pemerintah, tapi untungnya Lola Amaria dan Titien Wattimena, selaku penulis skenario, tidak membiarkan hal itu berlarut - larut sehingga film ini tetap enak untuk dinikmati.

Kekuatan terbesar Minggu Pagi di Victoria Park datang dari departemen akting. Titi Sjuman berhasil menunjukkan kelasnya karena berhasil membawakan karakter Sekar dengan sangat mengagumkan. Ekspresi yang dia tampilkan dalam film ini sangat luar biasa meyakinkan sehingga kita lupa bahwa dia adalah Titi Sjuman, bukan Sekar. Yang membuat saya kagum adalah cara dia melepaskan emosi kala karakter yang diperankannya ditekan masalah yang bertubi - tubi. Natural dan jauh dari kesan over-acting. Mantab! sepertinya Titi sudah memesan satu tempat untuk nominasi FFI tahun depan. Tidak hanya Titi yang berakting maksimal di film ini. Lola Amaria juga sukses membawakan peran Mayang. Meski apa yang dia tampilkan masih di bawah Titi, tapi kualitas akting yang dia tampilkan disini jelas di atas rata - rata. Penonton berhasil dibuat simpati dengan karakter yang dia perankan. Mereka seakan tak punya kesulitan berarti dalam membawakan peran ini. Sementara itu, supporting cast ternyata juga bermain dengan baik. Para aktris yang berperan sebagai TKW berakting dengan baik dan tidak kaku seperti kebanyakan aktris baru. Mereka tidak terlihat canggung meski harus adu akting dengan aktris sekelas Titi dan Lola. Donny Alamsyah juga menunjukkan kualitas aktingnya yang bagus di film ini. Sayangnya, Donny Damara justru merusak komposisi "Cast yang sempurna" ini. Ekspresi wajahnya terlalu tenang, kalau tidak mau dibilang datar, dan terlalu emosional dalam menunjukkan emosi. Segalanya dia tampilkan dengan terlalu berlebihan sehingga karakter Gandi cukup membuat saya antipati.

Tidak ditemukan masalah teknis yang cukup serius dalam film ini. Berikan pujian kepada Yadi Sugandi yang berhasil memotret keindahan Hong Kong dengan sangat manis sehingga turut membantu film ini secara keseluruhan. Penempatan lagu latar juga sangat pas dengan adegannya, membuat adegan - adegan tersebut mampu berbicara lebih banyak ke penonton.

Mengesampingkan beberapa kekurangan kecil yang ada, Minggu Pagi di Victoria Park adalah sebuah film yang menawan yang hadir di tengah keringnya film lokal yang berkualitas. Lola Amaria berhasil meraciknya menjadi tontonan drama yang berkelas dan memikat. Kepuasan berhasil saya dapatkan setelah menonton film ini. Bahkan kepuasannya melebihi kepuasan saat menonton Sex and the City 2 dan Prince of Persia setelah digabungkan. Skrip ciamik, akting yang memukau dan pengarahan yang menawan adalah kekuatan dari Minggu Pagi di Victoria Park. Jadi, apa lagi yang kalian tunggu ? segera ke bioskop dan saksikan film yang bagus ini.

Nilai = 8/10

June 4, 2010

REVIEW : SEX AND THE CITY 2



The girls are back! (Ooopppsss, girls) Setelah dua tahun lalu sukses menggila di tangga box office dunia, empat sekawan dari serial TV populer yang bermigrasi ke layar lebar kembali mengunjungi fans setianya di tahun ini. New Line Cinema mengucurkan dana yang tidak tanggung - tanggung, sebesar $95 juta, untuk pembuatan sekuel Sex and the City. Dengan bujet sebesar ini, tentu kita mengharapkan sajian yang lebih mewah, meriah dan spektakuler dari Sex and the City 2. Untuk memeriahkan suasana, direkrut kembali empat cast utama serta beberapa cast dari serial TV-nya yang belum sempat tampil di prekuelnya, hadir pula Penelope Cruz, Miley Cyrus dan Liza Minnelli sebagai cameo.

Film dibuka dengan flashback bagaimana Carrie (Sarah Jessica Parker) pertama kali bertemu dengan Charlotte (Kristin Davis), Miranda (Cynthia Nixon) dan Samantha (Kim Cattrall). Setelah Carrie sedikit bernostalgia di akhir tahun 80-an, setting berpindah ke masa kini, tepatnya dua tahun setelah ending film pertama. Carrie telah menikah dengan Mr. Big (Chris Noth), Charlotte menjadi seorang ibu, Miranda adalah wanita karir dan Samantha tetap saja lajang yang menikmati petualangan memburu berondong tampan.

Keempat sahabat ini menjalani kehidupan yang lebih berat dan penuh tekanan. Carrie merasa pernikahannya dengan Mr. Big berada di ujung tanduk setelah keduanya mengalami serangkaian perbedaan pendapat, Charlotte tertekan dalam mengurus dua anaknya yang merepotkan sementara sang suami sepertinya tertarik dengan sang nanny yang gemar memakai kaus tanpa bra, Miranda menghadapi masalah dengan karirnya dan Samantha ketakutan saat menopause mulai datang menghampirinya. Di tengah tekanan yang mereka hadapi, Samantha mendapat undangan bisnis ke Abu Dhabi. Yah, namanya juga Samantha, tak akan menyenangkan perjalanan ini bagi dirinya jika tidak mengajak ketiga sahabatnya untuk turut serta. Alhasil, keempat wanita mapan yang tengah dilanda masalah ini pun terbang dan siap untuk mengguncang Abu Dhabi.

Namun sepertinya masalah enggan pergi dari mereka. Carrie bertemu kembali dengan mantan pacarnya, Aidan (John Corbett) saat berkunjung ke pasar tradisional. Masalah yang dihadapinya dengan Mr. Big membuat Carrie menjadikan Aidan sebagai pelarian. Kebudayaan yang jauh berbeda memaksa mereka menghadapi Culture Clash dimana hal ini merupakan siksaan yang teramat berat bagi Samantha. Bahkan Samantha sempat diseret ke penjara lantaran berbuat mesum di tempat umum!

Sex and the City 2 bertutur tidak jauh berbeda dengan prekuelnya, hanya saja kali ini masalah dibuat sedikit lebih kompleks. Sepertinya Abu Dhabi (syuting dilaksanakan di Moroko, pihak Abu Dhabi tidak memberi ijin syuting bagi kru Sex and the City 2) memang sengaja dijadikan jualan utama film ini. Terlihat dari kurang seriusnya penggarapan di sektor naskah dan Abu Dhabi yang mendominasi di paruh akhir film. Bisa dikatakan paruh pertama film ini berjalan cukup lambat, bertele - tele dan cenderung membosankan. Sex and the City 2 baru bisa saya nikmati setelah keempat sekawan ini menginjakkan kaki di Abu Dhabi. Plotnya teramat dangkal, padahal masalah yang dihadapi para tokoh utama ini lebih kompleks. Tim penulis skenario seakan enggan untuk menggali lebih dalam dan lebih berfokus pada kisah liburan di negeri orang. Untungnya kebosanan saya sedikit tersembuhkan dengan humornya yang lumayan menggelitik. Seperti biasa, tingkah polah dan celetukan Samantha berhasil menyegarkan saya yang sudah mulai terkantuk - kantuk. Karakter Charlotte juga dibuat lebih kocak, terutama saat dia dengan sok tahu berbicara Bahasa Arab padahal hanya mengerti sedikit.

Chemistry diantara keempat pemeran utama terjalin dengan sangat baik, malah bisa dikatakan jauh berkembang dari film pertama. Meski ada selentingan yang mengatakan bahwa hubungan mereka di lokasi syuting tidak berjalan baik, nyatanya hal ini tidak berpengaruh pada hasil akhir. Inilah yang dinamakan profesionalitas, salut! Penelope Cruz dan Miley Cyrus mendapat porsi yang sangat minim sebagai cameo, cenderung mudah dilupakan. Malah Liza Minnelli yang berhasil mencuri perhatian. Perhatikan saat dia membawakan lagunya Beyonce, Single Ladies. sangat enerjik! tak terlihat seperti wanita berusia 60-an. Dari cast pria, semua bermain lumayan bagus. Tak ada yang mencuri perhatian, mungkin pemeran Guarau yang sedikit menonjol.

Sulit rasanya bagi penonton pria untuk bisa menikmati film ini, kecuali fans beratnya. Sex and the City 2 memang ditujukan untuk penonton wanita dan para fans. Namun bukan itu yang membuat saya sebal, karena saya sudah hafal betul bagaimana chick-flick bertutur. Kedangkalan naskah yang digarap oleh tim penulis skenario membuat saya dongkol. Saya tahu film ini ditujukan buat film hiburan di musim panas, tapi bukan berarti naskah bisa digarap seenaknya. Padahal saya mengharapkan konflik yang lebih greget dan nendang dari masalah yang dihadapi empat sekawan. Yang lebih unik lagi, ketimbang sibuk memikirkan lubang naskah, tim penulis malah sibuk mengritik cara berpakaian wanita Muslim di Timur Tengah. Mungkin mereka tidak ada maksud untuk mengritik, namun apa yang mereka sajikan ini telah menyinggung isu yang sangat sensitif. Ah, lupakan saja hal ini dan anggaplah sebagai hiburan semata. Sementara itu, untuk parade fashion, jelas Sex and the City adalah jagoannya. Bagi kalian penikmat fashion mungkin akan betah menikmati film berdurasi 146 menit ini hingga akhir. Secara keseluruhan, Sex and the City 2 sebenarnya cukup menyenangkan untuk ditonton kala senggang. Hanya dibutuhkan mood yang baik dan sedikit pengetahuan mengenai franchise Sex and the City.

Nilai = 5/10

REVIEW : SEHIDUP (TAK) SEMATI

Titan (Winky Wiryawan) dan Helena (Fanny Fabriana) adalah pasangan suami istri yang saling mencintai dengan kehidupan yang mapan namun sayangnya belum dikaruniai momongan. Ulang tahun pernikahan pertama mereka yang diharapkan akan menjadi malam yang indah berubah menjadi musibah tatkala asma Helena kambuh sementara dia lupa membawa obat hirup miliknya. Helena meregang nyawa di toilet restauran. Namun sebuah janji yang diucapkan Helena sebelum dia meninggal membuat arwahnya tertinggal di dunia dan menghantui Titan. Hanya Titan seorang yang bisa melihat Helena sementara orang di sekeliling Titan menganggapnya berhalusinasi lantaran terpukul atas kematian istrinya. Anak buahnya di kantor bahkan menyarankan Titan untuk berkonsultasi ke psikiater yang mana justru mengirimkan seorang mahasiswi bernama Olin (Joanna Alexandra) untuk observasi. Pada awalnya, kehadiran Olin menjadi gangguan bagi Titan lantaran Olin terus mengikuti Titan kemanapun Titan pergi sehingga tak ada lagi ruang privasi bagi dia. Seiring berjalannya waktu, Titan mulai menerima kehadiran Olin yang ternyata diam - diam memiliki perasaan terhadap Titan. Sementara itu, arwah Helena justru mendorong Titan untuk merebut hati Irene (Astri Nurdin), bos Helena. Meski keduanya baru bertemu beberapa kali, Titan dan Irene cepat akrab karena Irene memiliki sifat yang tidak jauh berbeda dengan Helena. Hati Titan mantap, Irene adalah sosok yang tepat untuk menggantikan Helena. Cincin pernikahan siap untuk disematkan ke jari Irene dan arwah Helena pun sudah siap untuk meninggalkan dunia karena tugasnya untuk mencarikan istri bagi sang suami dirasa telah selesai. Tapi, mengapa Helena tidak kunjung bisa meninggalkan Titan ? apa Helena telah melakukan kesalahan karena menjodohkan suaminya dengan Irene ?

Sepertinya sulit bagi film lokal bergenre non komedi seks dan horror menggelikan untuk bisa meraup banyak penonton selama peredarannya di bioskop. Saat saya menonton film ini, tercatat hanya ada 6 orang (termasuk saya dan teman) yang memenuhi gedung bioskop berkapasitas 150 kursi tersebut. Di teater sebelah yang memutar Dendam Pocong Mupeng malah dipenuhi penonton meski versi home video sudah dirilis. Ironis, bukan ? Menonton film dengan ditemani segelintir orang memang cukup menyenangkan karena bebas gangguan, tapi di sisi lain saya juga merinding lantaran dalam satu scene diceritakan arwah Helena mengikuti suaminya yang sedang kencan di bioskop (hiiiiii....) Oke, sudah cukup curhatnya. Mari kita bahas saja filmnya.

Sehidup (tak) Semati sejatinya menawarkan ide yang fresh bagi perfilman Indonesia yang tengah digempur oleh banyaknya komedi seks dan horror yang tidak masuk akal meski sudah tidak lagi menjanjikan banyak penonton. Niat duo Hilman Mutasi dan Lanri Jaya untuk menghadirkan kisah yang berbeda dalam skenario buatan mereka patut diapresiasi lebih meski pada kenyataannya hasil akhir tidak seperti yang diharapkan. Iqbal Rais yang naik daun berkat The Tarix Jabrix kurang berhasil mengejewantahkan tulisan duo penulis skenario ke dalam bentuk film. Padahal dari segi ide cerita, Sehidup (tak) Semati cukup menarik. Entah apa yang salah, namun film ini tak ubahnya FTV yang biasa kita saksikan tiap hari lewat layar kaca. Memang sih ada beberapa scene yang mengingatkan kita kepada film romantic comedy buatan Hollywood, namun itu saja tidak cukup untuk mengantarkan film ini ke jajaran film terpuji. Saya merasa dialog yang ada dalam film ini terlalu cheesy, mengingatkan kepada dialog yang sering dilontarkan dalam FTV. Kehadiran duo pelawak Faqih - Rina yang diharapkan bisa membawa nuansa konyol justru menodai film ini. Humornya sangat garing dan sering kita temui dalam sinetron, lawakan antara supir dan pembantu rumah tangga. Sungguh menyebalkan! Justru H. Bolot tampil lumayan lucu di film ini meski perannya tak jauh berbeda dengan peran - peran dia sebelumnya.

Fanny Fabriana yang tampil manis di Hari Untuk Amanda sekali lagi membuktikan kepiawaian aktingnya di film bergenre romcom. Memang aktingnya kali ini tak sebagus saat dia menjadi Amanda, tapi masih lebih bagus ketimbang akting Dewi Perssik, Cynthiara Alonara dan Rahma Azhari disatukan. Pemilihan peran yang tepat bisa membuat Fanny menjadi artis besar nantinya. Chemistry dia dengan Winky juga cukup berhasil meski (lagi - lagi) tidak senendang saat dia dipasangkan dengan Oka Antara di Hari Untuk Amanda. Ah, Fanny membuat saya terus membandingkan film ini dengan Hari Untuk Amanda. Winky Wiryawan bermain bagus sebagai Titan, begitu pula Joanna yang membawakan peran Olin dengan pas. Justru dandanan Olin yang terkesan dipaksakan. Scene stealer kali ini saya serahkan kepada Astri Nurdin yang membawakan peran Irene dengan manis dan kalem. Bisa jadi dia adalah salah satu alasan utama mengapa saya bisa terus melek hingga akhir film, hehe..

Usaha duo penulis skenario dan Iqbal Rais untuk memberi sajian yang berbeda ke penonton Indonesia memang patut diacungi dua jempol. Sehidup (tak) Semati bebas dari adegan seks maupun terror hantu dengan make-up yang berlebihan. Sayangnya, film ini berusaha terlalu keras untuk menjadi tayangan romcom yang berkualitas sehingga hasil akhir yang didapat kurang memuaskan. Film ini memang bertutur dengan cukup manis di beberapa bagian, namun unsur komedinya yang kelewat banyak justru merusak esensi cerita romantisnya. Seandainya saja duo pelawak dan humor dituturkan dengan lebih lembut, bukan tidak mungkin Sehidup (tak) Semati menjadi film romcom yang manis.

nilai = 4/10
Mobile Edition
By Blogger Touch