June 5, 2013

REVIEW : SANG KIAI


"Kadang prasangka buruk bukan berasal dari niatan buruk, tapi berasal dari ketidaktahuan."

Ketika kisah hidup dari K.H. Ahmad Dahlan diangkat ke layar lebar oleh Hanung Bramantyo dan memperoleh sambutan yang menggembirakan dari masyarakat dan kritikus film, maka hanya tinggal menunggu waktu kisah perjuangan dari K.H. Hasyim Asy’ari diceritakan kembali oleh sineas Indonesia demi disajikan ke pita seluloid. Hanya membutuhkan waktu kurang lebih sekitar 3 tahun sejak perilisan Sang Pencerah, Rako Prijanto melempar Sang Kiai yang jalinan penceritaannya beranjak dari kisah hidup tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) tersebut. Tidak murni sebuah biopik, selayaknya Soegija, ada sejumlah tokoh rekaan lain yang dimunculkan guna memperkuat (atau malah justru melemahkan?) posisi dari sang tokoh utama dalam poros cerita. Demi menambah daya tarik kepada penonton awam, bumbu-bumbu romansa pun turut dicampurkan ke dalam adonan penceritaan. Bukan resep yang salah sebenarnya, namun yang menjadi pertanyaan, apakah campuran tersebut dimanfaatkan secara benar dan bijaksana oleh si pembuat film? 

Sang Kiai merentang pengisahannya dimulai dari tahun 1942 pada era pendudukan Jepang dan berakhir di tahun 1947 saat Agresi Militer Belanda I berlangsung – 5 tahun terpenting dalam babak kehidupan Hadratus Syaikh (Maha Guru). Konflik bermula tatkala K.H. Hasyim Asy’ari (Ikranagara) yang menolak untuk tunduk kepada perintah Jepang – utamanya dalam melakukan sekerei – ditangkap dengan tuduhan memantik kerusuhan di Pabrik Gula Cukir. Penangkapan ini tentu saja memicu reaksi keras dari berbagai kalangan, khususnya keluarga dan para santri di Pesantren Tebu Ireng. Dalam keadaan kacau, istri Kiai, Nyai Kapu (Christine Hakim), diungsikan ke Denaran sementara Wahid Hasyim (Agus Kuncoro), putra sulung Kiai, dan Wahab Hasbullah (Arswendi Nasution) mencoba langkah diplomasi dengan pergi ke Jakarta demi mengusahakan pembebasan Hadratus Syaikh. Para santri pun tidak lantas tinggal diam melihat Kiai Hasyim dibui dan disiksa. Sejumlah cara – dari jalan penuh kekerasan hingga jalan damai – ditempuh agar Jepang bersedia melepas Sang Kiai. 

Well... sebagai warga NU dimana semasa masih duduk di bangku sekolah tidak henti-hentinya dihujani materi seputar sejarah NU dan para pendirinya, maka kehadiran Sang Kiai adalah sesuatu yang sangat saya dinantikan. Ada banyak harapan yang tersemat terlebih setelah menyimak trailer-nya yang menjanjikan. Rako Prijanto, dalam sebuah lompatan bagus untuk karir penyutradaraannya, sanggup menghadirkan Sang Kiai sebagai suguhan yang penting dan informatif dengan tingkat akurasi data sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan (konon kabarnya riset memakan waktu sekitar 2,5 tahun). Ada informasi dan pesan yang tersampaikan tentang bagaimana K.H. Hasyim Asy’ari memiliki peranan yang vital dalam kaitannya membawa Indonesia ke gerbang kemerdekaan. Predikat ‘Pahlawan Nasional’ pun digenggam bukannya tanpa sebab, dan proses dalam meraihnya tersampaikan melalui skrip racikan Anggoro Saronto dan penyutradaraan apik Rako Prijanto. Setidaknya, itulah yang terjadi di paruh pertama pada film. 

Memasuki paruh kedua, entah apa yang terjadi, bangunan penceritaan yang telah dibangun susah payah di paruh sebelumnya secara perlahan-lahan mulai goyah. Fokus mendadak mengabur. Tokoh-tokoh pendukung – baik nyata maupun rekaan – yang diniatkan untuk memperkokoh posisi K.H. Hasyim Asy’ari, malah berbalik ‘mengkudeta’. Si pembuat film tidak lagi jelas ingin menjadikan tokoh mana sebagai fokus cerita. Terlalu banyak tokoh pendukung yang menyesaki layar, saling berebut untuk memeroleh porsi layak dalam kontribusi ke penceritaan, dan pada akhirnya memberikan dampak kepada klimaks serta penyelesaian yang terasa hambar dan tidak memuaskan. Ada kesan terburu-buru untuk menuntaskan film dengan Kiai Hasyim tidak lagi menjadi sosok penting dalam film mengenai dirinya di menit-menit terakhir. Tanda-tanda tak mengenakkan ini sejatinya mulai terlihat semenjak munculnya konflik dimana Jepang meminta rakyat untuk melipatgandakan hasil bumi melalui perantara Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Keputusan kontroversial dari Kiai Hasyim mengejutkan banyak pihak. Kesan sekilas – apabila memandangnya hanya dari satu sudut – memerlihatkan Kiai Hasyim yang mendukung Jepang, meski sebenarnya (tentu saja) tidak. Citra Kiai memburuk, khususnya di mata Harun (Adipati Dolken), salah satu santri beliau. Pada titik dimana seharusnya film memanas dengan konflik meruncing, pengisahan justru berjalan ‘lempeng’. Kiai Hasyim ‘dirobohkan’ oleh si pembuat film untuk sejenak dengan ‘kebangkitan kembali’ yang kurang menghentak. Pertanyaan semacam, “hanya begitu saja?”, bisa jadi meluncur dari mulut sejumlah penonton. 

Penggunaan Bahasa Jawa yang minim (dan ngasal) dalam film pun sesungguhnya terasa mengganggu bagi saya. Ini tidak akan terlampau mengganggu, jika... Sang Kiai bukanlah film biopik sejarah yang mana setiap detil bersifat penting dan pemakaian Bahasa Jawa termasuk di dalamnya. Menjadi ironis tatkala si pembuat film mencoba untuk memerhatikan detil dalam kaitannya untuk pernak-pernik barang (yang umumnya jarang diperhatikan oleh penonton awam) namun mengabaikan detil penting semacam bahasa. Yang terjadi dalam Sang Kiai, bahasa dicampur aduk. Kromo Inggil (Jawa Halus) dengan Indonesia, Kromo Inggil dengan Ngoko (Kasar), dan – ini yang paling parah, dan anehnya selalu diulang-ulang di banyak film – Indonesia yang dibuat medok. Medok Jawa Timuran dan Jawa Tengah kadang malah dipukul rata, padahal beda. Kalau meminjam istilah orang Jawa, untuk menggambarkan ini, ‘wagu tur pateng pecotot’. Jika ini dianggap teramat sulit, bukankah Ifa Isfansyah baru saja melakukannya dengan cukup sukses melalui 9 Summers 10 Autumns

Pun demikian, sekalipun skrip sedikit demi sedikit menjadi kian tak beraturan dan melebar kemana-mana serta penggunaan bahasa Jawa masih setengah hati, Sang Kiai cukup tertolong oleh kehadiran jajaran pemainnya yang memberi penampilan cemerlang – Ikranagara dalam perannya yang sangat meyakinkan sebagai Kiai Hasyim, Christine Hakim yang membawakan perannya secara natural serta duo Dymaz Shimada dan Emil Kusumo yang berhasil mencuri perhatian sebagai tentara Jepang yang kejam – dan production value yang luar biasa mengagumkan serta tidak main-main. Tata kostum dan tata rias berpadu dengan manis bersama tata artistik, tata gambar, hingga tata musik dari Aghi Narottama yang megah. Pemanfaatan efek khusus – meski belum maksimal – namun cukup berhasil untuk turut menunjang dalam menghasilkan kesan kolosal seperti yang diharapkan. Yah... setidaknya rasa kecewa saya yang sedemikian mendalam terhadap Sang Kiai cukup terobati berkat sisi teknis yang digarap dengan ciamik serta penampilan jajaran pemain yang menawan.

Acceptable


1 comment:

Mobile Edition
By Blogger Touch