June 7, 2019

REVIEW : GHOST WRITER (2019)


“Lemes amat kayak nggak ada semangat hidup.”

“…”

“Semangat mati!”

“…”

“Ya semangat lah pokoknya.”

Seorang kawan pernah bersabda, “dari semua genre film, komedi dan horor termasuk yang paling sulit dibikin karena tawa dan takut itu subjektivitasnya paling tinggi.” Berhubung saya kerap menjumpai situasi dimana beberapa teman maupun pembaca ulasan mengajukan keberatan dengan menyatakan “ini nggak serem ah! Ini nggak lucu ah!” sementara saya merasakan sensasi lucu dan seram begitu juga dengan banyak penonton di bioskop, saya pun mengangguk setuju. Lebih sukar menjumpai film dari dua genre ini yang memperoleh resepsi bagus secara universal ketimbang genre lain semisal drama atau laga. Maka begitu mendengar Bene Dion Rajagukguk (sebelumnya menulis skrip untuk Suzzanna Bernafas dalam Kubur dan Stip & Pensil) mencoba untuk menggabungkan genre komedi dengan horor dalam debut penyutradaraannya, Ghost Writer, saya jelas terkedjoet. Sebuah upaya yang jelas sangat berani terlebih jarang-jarang ada sineas dalam negeri yang sanggup mengeksekusinya dengan baik. Malah, masih segar di ingatan, tandem ini memberi ‘mimpi buruk’ di permulaan era 2010-an saat marak diluncurkan film komedi horor berkualitas alamakjang yang membuat penonton lari tunggang langgang menjauhi bioskop. Menengok jejak rekam Bene, tentu sulit untuk membayangkan dia akan menggarapnya sesuka hati walau jelas ada sebersit keraguan di benak lantaran seperti telah dijabarkan sebelumnya, ini bukan perpaduan yang mudah. Jika Bene berhasil menaklukkannya, sudah barang tentu dia seketika bergabung dalam jajaran “sutradara yang harus kamu perhatikan.”

Ghost Writer yang didasarkan pada naskah racikan Nonny Boenawan (murid binaan sang produser, Ernest Prakasa, dalam kelas penulisan skenarionya) bersama Bene ini menempatkan seorang penulis bernama Naya (Tatjana Saphira) sebagai karakter utama. Usai tiga tahun lampau merilis sebuah novel yang disambut dengan sangat hangat oleh publik maupun kritikus, Naya tak kunjung terlepas dari kebuntuan ide yang menyulitkannya untuk mengkreasi karya anyar. Ini menjadi masalah besar bagi Naya tatkala uang tabungannya semakin menipis sementara kebutuhan hidup terus meronta-ronta termasuk menyekolahkan sang adik, Darto (Endy Arfian), yang sebentar lagi mengenyam bangku SMA. Writer’s block yang kerap menghantui Naya ini akhirnya memperoleh solusi selepas Naya tanpa sengaja menemukan sebuah buku harian tua yang tergeletak di loteng. Dalam buku harian tersebut, Naya mendapati serentetan curahan hati bernada kelam, muram, serta penuh amarah dari si pemilik yang lantas menginspirasinya untuk diterjemahkan ke dalam bentuk prosa. Belum juga proses penulisan berjalan, Naya dikejutkan oleh kehadiran sesosok hantu, Galih (Ge Pamungkas), yang mengaku sebagai pemilik buku harian tersebut. Galih menolak kisah masa lalunya yang merana dimanfaatkan oleh Naya untuk meraup untung. Berhubung Naya tengah membutuhkan uang, dia pun bernegosiasi dengan Galih yang belakangan bersedia membantunya. Tapi perjuangan menuntaskan novel ini tidak lantas berlangsung mudah lantaran terdapat hantu lain yang berupaya untuk menyingkirkan Naya.  


Premis menggelitik berbunyi, “bagaimana jadinya kalau ternyata ada ghost writer (penulis sewaan yang namanya tidak dicantumkan dalam kredit) yang beneran ghost?”, yang diajukan oleh Ghost Writer nyatanya tak berakhir dengan sia-sia. Bene membuktikan bahwa dia adalah sutradara pendatang baru yang sangat layak untuk diperhitungkan di masa mendatang melalui kemahirannya memadukan tiga elemen berlainan: komedi, horor, serta drama. Memang betul teror yang dikedepankan oleh film ini tidak akan membuatmu mengkerut di kursi bioskop karena sebatas di level “ramah keluarga” dan tujuan utamanya pun bukan untuk menakut-nakuti penonton melainkan untuk menggerakkan narasi. Jika ada satu adegan paling mengerikan yang bisa kamu jumpai di sini, maka itu berhubungan dengan pintu digedor-gedor saat sedang nikmat-nikmatnya membuang hajat. Tanpa keterlibatan hantu sekalipun, kejadian semacam ini telah memberikan definisi yang sesungguhnya atas kata ‘horor’ di dunia nyata (ciyus!). Terdengar lawak? Begitulah semangat yang dijunjung tinggi oleh Ghost Writer. Berhubung Bene mempunyai latar belakang sebagai komika, saya tidak terperanjat begitu mendapati kandungan komedi lah yang paling pekat di sini. Tidak semuanya tersampaikan secara efektif, bahkan ada kalanya terasa mendistraksi seperti duo Arie Kriting-Muhadkly Acho yang porsi tampilnya cenderung berlebih dan semestinya bisa dihibahkan kepada karakter Bening (Asmara Abigail) yang kurang mendapat sorotan. Namun saat guyonan tersebut mengenai sasaran, bersiaplah untuk tergelak-gelak. Satu paling membekas di benak saya jelas adegan chatting yang menjadi awal mula terbentuknya interaksi antara Naya dengan Galih. Sebuah interaksi lucu yang secara perlahan tapi pasti berkembang menjadi hangat seiring berjalannya durasi.

Ya, Naya dan Galih membentuk hubungan lintas alam yang bersifat simbiosis mutualisme. Ketimbang mendera para penghuni rumah dengan teror sampai mereka terbirit-birit, Galih memilih untuk berkawan dengan Naya. Pemicunya tidak dilandasi oleh cinta – Naya dikisahkan telah menjalin hubungan serius dengan seorang aktor bernama Vino (Deva Mahenra) – melainkan oleh kepedulian. Saya tidak akan menjabarkan secara detil mengenai latar belakang keduanya demi efek kejut. Yang jelas, Bene menunjukkan kepekaannya dalam meramu momen dramatik dengan memberi perhatian lebih terhadap tumbuh kembangnya hubungan dua karakter ini. Galih tidak ujug-ujug muncul lalu mengiyakan penawaran Naya, tapi ada proses yang membawanya ke titik tersebut. Sebuah proses yang dijabarkan secara hati-hati sehingga tanpa sadar kita akhirnya bersimpati kepada mereka. Adanya kepedulian terhadap karakter-karakter inti inilah yang membuat saya tak kuasa menahan air mata tatkala si pembuat film mengungkap sebuah kebenaran yang sekaligus bertujuan untuk menyampaikan pesan besar kepada penonton mengenai keluarga. Damn! Kesanggupan Ghost Writer dalam memenuhi potensinya ini tidak saja disebabkan oleh naskah beserta penyutradaraan yang solid, tetapi juga berkat permainan akting dari jajaran pemain yang mengagumkan. Tatjana Saphira membentuk chemistry padu bersama Ge Pamungkas yang rupanya jago bersedu sedan, Deva Mahenra memberi keriaan sebagai aktor sinetron yang lebay, dan Endy Arfian tampil lucu sebagai adik Naya yang penakut.   

Exceeds Expectations (3,5/5)


4 comments:

  1. Om, jokes nya sejenis jokes2 di film ernest kan om, bukan kayak my stupid boss (yang saya masih ga ngerti lucunya dimana) kan?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya. Mirip dengan candaannya Ernest karena dia sendiri juga terjun sebagai produser.

      Delete
  2. Diantara 5 film lebaran setjju ga kalo ini film terbaik?

    ReplyDelete
  3. Ghost Writer - Penulis Bayangan
    https://www.youtube.com/watch?v=nDaiE1Ia4LM

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch