March 30, 2019

REVIEW : MY STUPID BOSS 2


“Ini Vietnam, bukan Cililitan. Mereka kalau nyerang itu pakai granat.”

Bagi saya, My Stupid Boss (2016) adalah film komedi yang cukup mengasyikkan. Memang sih film arahan Upi (30 Hari Mencari Cinta, My Generation) yang didasarkan pada rangkaian buku laris rekaan chaos@work tersebut lebih menyerupai sketsa seperti materi sumbernya yang tersusun atas kumpulan-kumpulan kejadian konyol dan peralihan nada penceritaan di babak pamungkas sempat memunculkan reaksi “hah, kok jadi gini?”, tapi setidaknya film berhasil beberapa kali membuat saya tergelak-gelak menyaksikan tingkah laku Bossman (Reza Rahadian) yang ngeselinnya naudzubillah beserta karyawan-karyawan pabriknya. Ada lawakan yang manjur di sini, ada pula performa pemain yang tidak main-main, dan film pun mempunyai tampilan visual bergaya yang sedikit banyak melayangkan ingatan kepada sajian-sajian karya Wes Anderson. Itulah mengapa saya tidak mengeluh panjang-panjang mengenai titik lemahnya dan saya pribadi sangat menanti ketika rumah produksi Falcon Pictures mengumumkan bahwa My Stupid Boss 2 tengah dipersiapkan. Berhubung Upi bukanlah tipe “sequel person” sehingga proses pengembangan film kedua membutuhkan waktu cukup lama, diri ini pun tak kuasa untuk bertanya-tanya. Apa yang akan dipersiapkannya sebagai daya pikat di film kedua ini? Akankah dia semata-mata melipatgandakan semua kegilaan dari film terdahulu mengikuti aturan tak tertulis sebuah sekuel? Atau… ada kejutan lain yang menyertai?

March 26, 2019

REVIEW : FIVE FEET APART


“All I want is to be with you. But I can’t.”

Saat berbicara tentang tontonan percintaan untuk kalangan remaja yang mengambil jalur melodrama, satu hal yang seketika terlintas di pikiran adalah formula penceritaannya yang kerapkali berkisar pada “cinta terhalang penyakit”. Sebuah formula yang sejatinya klasik – perkenalan pertama saya dengan topik ini dimulai dari A Walk to Remember (2001) – tapi belakangan kembali menjumpai popularitasnya berkat sambutan hangat yang diterima oleh The Fault in Our Stars (2014). Kita berkesempatan memperoleh sajian tearjerker yang apik via Me and Earl and the Dying Girl (2015) beserta Me Before You (2016), tapi ada pula yang menggoreskan kesan kurang menyenangkan seperti Everything Everything (2017). Berhubung judul-judul tersebut ternyata membuktikan bahwa kisah cinta yang mendayu-dayu masih sangat digandrungi oleh publik, maka tentu saja sineas Hollywood pun tidak akan berhenti untuk menyuguhkannya dalam waktu dekat ini. Terbukti, kita lantas disuguhi Five Feet Apart yang mempertemukan “penyakit mematikan” dengan “percintaan” dalam satu forum. Melalui film yang seringkali saya sebut Pacar Lima Langkah dalam beberapa obrolan bersama kawan dekat ini (terdengar lebih manis, bukan?), penonton tidak hanya dipertemukan dengan satu penderita penyakit mematikan saja tetapi ada tiga. Salah duanya melibatkan karakter protagonis film yang tengah dimabuk cinta sehingga mau tak mau diri ini pun seketika teringat kepada The Fault in Our Stars.

March 24, 2019

REVIEW : FRIEND ZONE


“The friend zone is just another kind of jail.”

Dalam Friend Zone, penonton diperkenalkan kepada dua teman baik yang telah menjalin ikatan persahabatan sedari duduk di bangku SMA, Gink (Baifern Pimchanok) dan Palm (Nine Naphat). Tak seperti Gink yang sebatas menganggap Palm sebagai sahabat yang siap menemani dalam suka maupun duka, Palm justru berharap lebih. Dia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersama dengan Gink sebagai istrinya bukan sebagai temannya. Berhubung Gink tak ingin merusak tali pertemanan diantara mereka dan Palm pun acapkali ragu-ragu untuk mengutarakan perasaannya, maka tentu saja hubungan keduanya pun tak pernah melangkah ke arah yang lebih serius. Mereka hanyalah sahabat, that’s it. Pun demikian, Palm masih memiliki keyakinan bahwa gayung akan bersambut suatu saat nanti sekalipun Gink tak kunjung merespon kode-kode dari sahabatnya selama satu dekade. Saat mereka akhirnya memilih jalan hidup masing-masing, Palm tetap dijadikan teman pelipur lara oleh Gink yang mempunyai trust issue terhadap pasangannya, Ted (Jason Young), yang merupakan seorang produser musik. Tidak jarang Gink tiba-tiba menghubungi Palm untuk menemaninya akibat rasa insecure yang mendadak menghujamnya. Sebagai sahabat yang baik, Palm tentu selalu siap sedia kapanpun dia dibutuhkan walau terkadang posisi Gink berada nun jauh di negara lain. Meski keduanya sudah disibukkan dengan pekerjaan dan pasangan masing-masing, Palm dan Gink tetap sulit untuk dipisahkan. Dimana ada Gink yang sedang dirundung masalah, maka disitu ada pula Palm yang menenangkannya. Palm yang tetap berharap ada secercah harapan bagi dia dan sang sahabat untuk mengucapkan janji suci bersama.

March 22, 2019

REVIEW : US


“They look exactly like us. They think like us. They know where we are. We need to move and keep moving. They won’t stop until they kill us… or we kill them.”

Dikenal sebagai seorang komedian, siapa yang menyangka jika Jordan Peele ternyata amat lihai dalam meramu sajian horor yang sanggup membuat para penontonnya merasa tidak nyaman? Dalam debut penyutradaraannya, Get Out (2017), yang menghantarkannya meraih piala Oscars untuk kategori Naskah Asli Terbaik, Peele memang tidak menggedor jantung penonton dengan penampakan-penampakan memedi maupun gelaran adegan sadis. Dia memberikan mimpi buruk melalui “rumah calon mertua yang penuh rahasia” dimana white supremacy ternyata masih dijunjung tinggi dibalik penampilan luar serba toleran dan terbuka. Bagi masyarakat Amerika Serikat yang tengah dirundung persoalan rasisme – dan sejatinya ini terjadi pula ke berbagai belahan dunia – apa yang disampaikan oleh Peele di sini terasa relevan. Mewakili keresahan publik terhadap situasi sosial politik yang semakin gonjang-ganjing khususnya bagi masyarakat dari kalangan minoritas. Alih-alih terdengar ceriwis, komentar si pembuat film justru terasa efektif berkat kecakapannya dalam bercerita dimana isu yang mendasari keresahannya lantas diwujudkan sebagai sumber teror. Entah bagi kamu, tapi bagi saya, manusia memang tampak lebih mengerikan ketimbang makhluk-makhluk supranatural semacam hantu lantaran ada ancaman nyata yang ditunjukkan terlebih saat mereka dibutakan oleh nafsu berbalut kebencian. Bukankah terdengar mengerikan saat manusia rela menghalalkan segala cara hanya demi memenuhi kepuasan pribadi? Peele menyadari betul hal itu sehingga dia pun kembali memanfaatkan sisi gelap manusia sebagai “sang peneror” dalam film terbarunya, Us, yang ternyata oh ternyata… terasa lebih mencekam dibanding film perdananya!

March 18, 2019

REVIEW : MISTERI DILAILA


“Kau bukan istri aku!”

Di negeri asalnya, Malaysia, Misteri Dilaila tengah menjadi bahan pembicaraan hangat. Disutradarai oleh sutradara muda berbakat Syafiq Yusof (Abang Long Fadil, KL Special Yusof) yang kebetulan masih memiliki hubungan darah dengan Syamsul Yusof yang angkat nama berkat dwilogi Munafik, Misteri Dilaila memang menggunakan resep bercerita yang tidak biasa untuk ukuran film setempat. Disamping perpaduan genrenya yang memadupadankan elemen misteri dengan psychological thriller, horor berunsur supranatural, serta komedi, keputusan si pembuat film untuk merilisnya ke bioskop dalam dua versi berbeda turut menarik perhatian. Pembedanya memang hanya terletak pada konklusi yang berlangsung di 15 menit terakhir dan gimmick jualan semacam ini pun bukan hal yang sepenuhnya baru karena Clue (1985) beserta Unfriended: Dark Web (2018) telah terlebih dahulu mengaplikasikannya. Akan tetapi, untuk ukuran film Malaysia, apa yang diperbuat oleh Syafiq Yusof jelas bisa dibilang revolusioner sekalipun Misteri Dilaila turut tersandung kontroversi plagiarisme akibat kemiripan narasinya dengan Vanishing Act (1986). Berhubung saya belum pernah menyaksikan judul tersebut, kontroversi ini jelas tidak berimbas dalam menyurutkan keinginan untuk menonton. Saya masih menaruh ketertarikan terhadap Misteri Dilaila yang sebagian besar dilandasi oleh faktor genre dan gimmick. Selain itu, saya juga ingin membuktikan hype di kalangan netizen Malaysia yang tak sedikit diantaranya bersedia memberi nilai 11/10 untuk film ini. Sungguh emejing, bukan?

March 16, 2019

REVIEW : YOWIS BEN 2


“Koen kabeh eling. Nek ga sukses, uripmu kabeh bakal sepi koyo kuburan iki.”

“Jare sopo sepi? Rame ngene og.”

Saat dirilis di bioskop pada tahun 2018 silam lalu, siapa yang menyangka Yowis Ben akan disambut dengan sangat hangat oleh penonton? Keputusan untuk menggunakan Bahasa Jawa Malangan sebagai dialog utama jelas terbilang nekat, bahkan sempat pula mengundang kontroversi tak perlu yang dikait-kaitkan dengan masalah nasionalisme. Bagi penonton yang tak memahami Bahasa Jawa, Yowis Ben bisa jadi kurang menggoreskan kesan. Namun bagi mereka yang paham betul terlebih bagi penutur asli dialek Malang dan sekitarnya, film ini menghadirkan sebuah hiburan mengasyikkan. Narasinya membumi, begitu pula dengan guyonan-guyonannya yang terdengar akrab di telinga. Sebagai orang Jawa tulen yang kebetulan cukup mengenal kota Malang, saya jelas menikmati suguhan dari Fajar Nugros bersama Bayu Skak ini. Memang jauh dari kata sempurna (well, ada banyak sekali catatan yang saya tinggalkan buat film ini), tapi saya menyukai nada penceritaannya yang begitu enerjik sekaligus mengalir lancar seolah tanpa beban. Tipe tontonan yang enak disimak beramai-ramai maupun dimanfaatkan untuk mengobati kegundahan hati. Puecah pol! Kesanggupan saya dalam menemukan sisi excitement yang terkandung di Yowis Ben ini tentu membuat saya bergembira begitu mendengar kabar bahwa film kelanjutannya telah dipersiapkan. Hanya saja, saya pun memiliki sejumlah kekhawatiran terhadap nasib film ini yang dipicu oleh: 1) adanya kemungkinan si pembuat film terbebani dengan kesuksesan jilid terdahulu sehingga penceritaan pun tak lagi luwes, dan 2) adanya kemungkinan Yowis Ben 2 terkena kutukan sekuel. Saya pun seketika berdoa, “semoga kekhawatiran ini tak pernah terjadi. Semoga kekhawatiran ini tak pernah terjadi.”

March 12, 2019

REVIEW : CAPTAIN MARVEL


”We have no idea what threats are out there. We can’t do this alone. We need you.”

Siapa diantara kalian yang bersuka cita menyambut kehadiran Captain Marvel? Sebagai seseorang yang mengikuti Marvel Cinematic Universe (MCU) sejak awal mula dan belakangan dibuat tertambat oleh bangunan semestanya yang mengagumkan, saya jelas gembira dengan kemunculan Captain Marvel. Terlebih lagi, film arahan Anna Boden dan Ryan Fleck (Half Nelson, It’s Kind of a Funny Story) ini menandai untuk pertama kalinya MCU mempunyai film solo bagi superhero perempuan. Mereka memang telah memiliki tiga superhero perempuan yang tergabung dalam Avengers yakni Black Widow, Scarlet Witch, dan Gamora. Akan tetapi tak seperti para pria perkasa di semesta yang sama, ketiganya belum memiliki film tunggal termasuk Gamora yang mesti berbagi jatah narasi dengan keempat rekannya dalam Guardians of the Galaxy. Penantian panjang untuk menyaksikan MCU mengikuti jejak tetangga sebelah yang sudah terlebih dahulu mempersembahkan Wonder Woman (2017) – yang ternyata lebih dari sekadar representasi gender dalam sinema Hollywood – akhirnya tiba di momen-momen genting. Mengapa saya menyebutnya demikian? Well, jika kamu sudah menyaksikan Avengers: Infinity War tentu mengetahui bahwa nasib para pahlawan di semesta bentukan Marvel Studios ini sedang berada di ujung tanduk. Melalui sebuah post credits scene di sela-sela end credit film tersebut, penonton diinformasikan bahwa bala bantuan akan diperoleh dari karakter dengan lambang bintang atau dengan kata lain: Captain Marvel. Ini adalah salah satu alasan yang lantas membuat saya (dan mungkin jutaan penonton lain) bersemangat menantikan Captain Marvel.   

March 4, 2019

REVIEW : DILAN 1991


“Kalau aku jadi presiden yang harus mencintai seluruh rakyatnya, maaf aku pasti tidak bisa. Karena aku cuma mencintai Milea.”

Siapa sih yang tidak mengetahui pasangan fiktif Dilan dan Milea dari film bertajuk Dilan 1990 (2018)? Terlepas dari kamu menyukainya atau tidak menggemarinya, rasa-rasanya sulit untuk menyangkal bahwa dua sejoli ini merupakan fenomena tersendiri dalam perfilman tanah air. Mereka tak ubahnya Galih dan Ratna, atau Cinta dan Rangga, bagi generasi pemuja gawai. Ada alasan tersendiri mengapa film yang disadur dari novel laris manis bertajuk Dilan: Dia adalah Dilanku Tahun 1990 rekaan Pidi Baiq ini mampu mendatangkan 6 juta penonton untuk berduyun-duyun memenuhi gedung bioskop. Bukan hanya karena materi sumbernya telah membentuk basis penggemar yang loyal, tetapi juga karena rayu-rayuan si karakter tituler kepada Milea mampu meluluhkan hati banyak perempuan dari berbagai lapisan usia maupun tingkatan sosial (!). Bagi perempuan muda, cara Dilan merayu dianggap merepresentasikan hubungan asmara yang ideal. Sementara bagi perempuan di tingkatan usia lebih dewasa, hal ini kerap dijadikan ajang nostalgia ke masa-masa berpacaran di SMA yang manis. Ditunjang pula oleh penampilan berkarisma dari Iqbaal Ramadhan, perempuan mana yang tidak klepek-klepek begitu mendengar sang panglima tempur melancarkan jurus ngegombalnya? Saya saja terkadang tersenyum-senyum gemas sekalipun menjumpai setumpuk kelemahan dari Dilan 1990 diluar faktor akting pemain yang memang merupakan kekuatan utama film. Satu hal yang paling mengusik diri ini selama menontonnya adalah ketiadaan konflik yang kuat untuk menopang narasi sehingga tak jarang film menimbulkan rasa jenuh.

March 3, 2019

REVIEW : FOXTROT SIX


“Millions of lives are at stake tonight. They’re counting on us.”

Segenap doa yang telah saya panjatkan agar bisa melihat lagi sajian laga produksi Indonesia yang keren telah dikabulkan oleh Tuhan melalui The Night Comes for Us (2018). Memang betul film ini mempunyai plot amat tipis, tapi siapa yang peduli saat tata laganya sungguh keren dan menghadirkan banyak momen untuk dikenang? Saya sih bahagia-bahagia saja saat menontonnya karena sensasinya mengingatkan diri ini kepada dwilogi The Raid. Seru, seru, seru. Bukankah itu hal paling utama yang seharusnya diperoleh dari film laga komersil? Selain itu, film ini pun mengompensasi kekecewaan saya terhadap Buffalo Boys (2018) yang mengecewakan di banyak sisi sekalipun konsepnya tampak mencengangkan. Kepuasan tiada tara pada The Night Comes for Us pun seketika menyalakan lagi pikiran positif yang tadinya sempat meredup. Saya berpikir, masih ada harapan bagi perfilman negeri ini untuk memproduksi action movie yang menggegerkan emosi di sepanjang durasi. Kepercayaan yang kembali mengemuka ini pula yang lantas mendorong saya untuk menaruh pengharapan pada Foxtrot Six. Sebuah film laga yang turut menempatkan Mario Kassar – produser bagi film-film Hollywood terkenal seperti Rambo: First Blood II (1985) dan Terminator 2: Judgment Day (1991) – di bangku produser. Lebih-lebih lagi, film ini pun menyodorkan premis menjanjikan: bagaimana jika Indonesia yang telah maju di masa depan mengalami kekacauan besar akibat krisis pangan dan pemimpin gila kekuasaan?
Mobile Edition
By Blogger Touch