April 29, 2019

REVIEW : 27 STEPS OF MAY


“Bapak nggak salah.”

Dalam kasus pelecehan seksual, siapa sebetulnya yang patut dipersalahkan dan semestinya menerima ganjaran atas “ketidakberdayaannya”? Apakah pelaku yang tunduk kepada hawa nafsunya atau korban yang tak kuasa dalam memberi perlawanan? Apabila fungsi hukum diberlakukan secara semestinya serta bersedia patuh pula pada akal sehat maupun bukti-bukti, maka sudah barang tentu pelaku adalah pihak yang sepatutnya bertanggungjawab. Sebab, mereka telah memaksakan kehendak kepada orang yang tak pernah memberikan persetujuan atas tindakan-tindakan mereka. Akan tetapi, realita di lapangan nyatanya tak berbicara demikian karena para penegak hukum (sekaligus masyarakat tukang ikut campur) merasa bahwa letak kesalahan justru ada di korban lebih-lebih jika kasus ini merundung perempuan. Alih-alih mempertanyakan motivasi pelaku, mereka justru mengemukan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan korban seperti: apa pakaian yang dikenakan oleh si A? Saat diperkosa atau dilecehkan, apa benar dia tidak sedang dalam pengaruh narkoba atau minuman beralkohol? Kenapa sih si A malah pergi ke tempat kejadian perkara padahal sudah memahami resikonya? Bukannya perempuan seharusnya sudah mendekam di rumah ya selepas jam-jam tertentu? Dalam pandangan publik yang masih menjunjung tinggi budaya patriarki (secara sadar maupun tidak), korban nyaris mustahil untuk menang. Kalaupun akhirnya ditindaklanjuti, jalan keluar yang diambil seringkali bersifat kekeluargaan ketimbang benar-benar menindak tegas perbuatan pelaku sehingga tak mengherankan jika kemudian banyak yang memilih untuk bungkam dan tenggelam dalam trauma.

April 26, 2019

REVIEW : AVENGERS: ENDGAME


“We lost. All of us. We lost friends. We lost family. We lost a part of ourselves. This is the fight of our lives.”

Sejujurnya, saya masih agak kesulitan dalam memformulasikan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan seperti apa pengalaman menonton Avengers: Endgame. Yang jelas, instalmen pamungkas dari sepuluh tahun terakhir Marvel Cinematic Universe (MCU) ini merupakan sebuah sajian spektakuler. Saya bisa mencapai kesimpulan demikian karena saya masih bisa dibuat menangis sesenggukan berulang kali (!) sementara di waktu yang sama, diri ini dihujani sederet gangguan yang sungguh mendistraksi fokus berupa:  a) sepasang kekasih di kursi sebelah asyik berdiskusi dengan volume suara cukup kencang seolah-olah sedang berada di kafe, b) krucil-krucil berusia tak lebih dari 5 tahun mengoceh tak karuan yang akhirnya baru berhenti setelah orang tuanya saya tegur, dan c) sinar ponsel yang menyilaukan dari penonton yang tak tahu caranya menurunkan brightness. Bisa dibayangkan dong betapa dongkolnya mesti berhadapan dengan manusia-manusia yang tidak mempunyai kepekaan semacam ini? Anehnya, Avengers: Endgame tetap membawa saya pada pengalaman menonton yang mungkin saja tidak akan dijumpai dalam waktu dekat. Ada banyak gegap gempita yang membuat saya girang bukan main bak bocah cilik yang baru saja diberi mainan baru, ada banyak canda tawa yang membuat saya tertawa terpingkal-pingkal sampai perut mengencang, ada banyak hamparan visual mencengangkan yang membuat rahang saya terjatuh ke lantai, dan ada banyak momen-momen emosional yang membuat saya urung ke toilet lantaran cairan dalam tubuh telah dikeluarkan melalui mata. Berlebihan? Tunggu hingga kalian mengetahui kalau tubuh saya bergetar selama bermenit-menit selepas menonton dan tidak tahu lagi harus mengucap apa.

April 23, 2019

REVIEW : RUMPUT TETANGGA


“Ketika kita tidak bahagia dengan apa yang kita lakukan, selalu tidak puas dengan apa yang kita dapatkan, kita akan cenderung menyakiti orang lain di sekitar kita.”

Jujur, saat pertama kali saya mengetahui kalau Rumput Tetangga dihasilkan oleh RA Pictures yang merupakan rumah produksi milik Raffi Ahmad, tak ada sedikitpun ketertarikan untuk mengetahuinya lebih jauh. Belum apa-apa, diri ini sudah bersikap skeptis dan menaruh prasangka buruk. “Palingan film ini tidak jauh berbeda dengan produksi terdahulu” adalah komentar yang kala itu meluncur dari mulut saya yang pedas. Bagi kalian yang tergolong rutin (atau minimal pernah) menyaksikan film-film keluaran mereka, tentu bisa mafhum mengapa saya bersikap demikian. Ada pengalaman traumatis tersendiri selepas menonton Rafathar (2017, masih mengaplikasikan nama RNR Pictures), lalu Dimsum Martabak (2018) serta The Secret: Suster Ngesot Urban Legend (2018) yang sudah cukup membuat saya mengibarkan bendera putih buat mencicipi koleksi horor lain keluaran RA Pictures. Alih-alih menikmati, saya justru dibuat ngedumel, terkantuk-kantuk, sampai mengoleskan minyak angin agar bisa bertahan hingga penghujung durasi. Cobaannya sungguh berat, saudara-saudaraaaa…. (!). Saking kapoknya, saya nyaris tak melirik Rumput Tetangga sampai kemudian mendapat panggilan tugas dari bapak atasan untuk meliput film ini. Cenderung ogah-ogahan pada mulanya, sikap suudzon ini mendadak luntur begitu membaca sinopsinya yang harus diakui sangat menggugah selera. Rumput Tetangga mengedepankan premis relatable bagi banyak orang berbunyi “bagaimana seandainya kamu mendapat kesempatan untuk menjalani kehidupan yang selama ini kamu impikan?” sekaligus menghantarkan pesan moral terkait mensyukuri hidup yang sedikit banyak melemparkan ingatan ini kepada It’s a Wondeful Life (1946), The Family Man (2000), dan Medley (2007).

April 22, 2019

REVIEW : POCONG THE ORIGIN


“Ananta itu punya ilmu banaspati. Dan kalau tidak dikubur di tanah kelahirannya, yang mati itu bisa bangkit lagi, Pak.”

Trailer Pocong The Origin memang menarik. Sedikit banyak mengingatkan diri ini kepada film horor produksi Starvision terdahulu, Kafir (2018), yang lebih banyak mengandalkan atmosfer mengusik kenyamanan alih-alih parade jumpscares untuk menebar teror. Tapi bagi saya pribadi, materi promosi tersebut bukanlah faktor utama yang melandasi ketertarikan untuk menonton Pocong The Origin. Saya baru benar-benar menentukan pilihan setelah sang sutradara, Monty Tiwa (Keramat, Critical Eleven), membeberkan satu fakta besar dalam helatan gala premiere yang seketika membuat saya berseru “okay, I am sold!”. Fakta yang dibocorkan oleh Monty adalah… Pocong The Origin ternyata merupakan “reinkarnasi” dari film bertajuk Pocong (2006) garapan Rudi Soedjarwo! Sebagian dari kalian yang tidak familiar dengan judul ini mungkin bertanya-tanya, “apa sih yang membuatnya istimewa? Apakah ini adalah film horor yang sangat keren? Tapi kok saya tidak pernah mendengar judul ini?.” Satu hal yang perlu kalian ketahui yaitu Pocong memang tak pernah mendapat izin dari Lembaga Sensor Film (LSF) untuk ditayangkan ke hadapan publik lantaran mengangkat isu tragedi 1998 yang dinilai sensitif. Sebagai bentuk pelampiasan kekecewaan, Rudi beserta tim – termasuk Monty di sektor penulisan naskah – pun memutuskan untuk menggarap Pocong 2 (2006) yang kerap disebut-sebut sebagai film horor Indonesia paling menyeramkan. Saya pun mengakuinya dan saya juga tergelitik untuk mengetahui instalmen perdananya. Hmm… kira-kira seseram atau sesadis apakah film pertamanya kok sampai tak lolos sensor? Maka begitu Monty memutuskan untuk menceritakannya kembali dalam wujud Pocong The Origin dengan modifikasi disana-sini, saya pun tak kuasa membendung rasa penasaran.

April 20, 2019

REVIEW : THE CURSE OF LA LLORONA


“Your children are safe now, but have they heard her crying? Have they felt the sting of her tears? They will, and she will come for them.”

Apakah kalian pernah mendengar cerita seram mengenai makhluk halus berwujud perempuan yang gemar menggondol anak-anak selepas Maghrib? Apabila kalian tumbuh besar di Indonesia – terlebih lagi di tanah Jawa – dongeng mistis semacam ini telah menjadi santapan sehari-hari semasa bocah. Sejumlah orang tua kerap menakut-nakuti anak-anaknya dengan berseru, “nanti diculik wewe gombel lho!,” saat si bocah masih kekeuh untuk bermain-main di luar meski matahari telah kembali ke peraduannya. Sosok gaib yang dikenal sebagai wewe gombel tersebut memang menjadi momok yang sangat mengerikan bagi para krucil di tanah air dan beberapa sineas pun melihat potensi besar yang bisa dikembangkan dari folklore ini… termasuk Hollywood! Tatkala membaca tulisan ini, saya yakin banyak diantara kalian yang mengucek-ngucek mata saking terbelalaknya. Masa sih wewe gombel beneran sudah go international? Jika kalian tidak percaya, coba saja tengok The Curse of La Llorona (di sini menggunakan judul The Curse of the Weeping Woman) yang konon kabarnya dipaksakan oleh Warner Bros. untuk masuk ke dalam The Conjuring universe ini. Dalam film tersebut, kalian akan menjumpai sesosok memedi dalam rupa perempuan yang hobi menculik bocah. Bukankah itu sangat terdengar seperti wewe gombel? Betul kan, guys? Guys? Kalian masih di sini kan, guys? Kalau kalian masih di sini, mohon dimaafkan kejayusan ini dan perkenankan saya mengakui sesuatu: The Curse of La Llorona tentu saja bukan film horor soal wewe gombel, melainkan demit asal Meksiko bernama La llorona (diterjemahkan sebagai weeping woman karena sumber teror dimulai dari terdengarnya suara isak-isak tangis perempuan) yang kebetulan mempunyai mitos senada.

April 16, 2019

REVIEW : HOTEL MUMBAI


“I’m scared.”

“We all are. But to get through this, we must stick together.”

Bagi masyarakat India, empat hari di penghujung bulan November pada tahun 2008 akan selalu dikenang sebagai hari-hari terkelam dalam sejarah bangsa. Betapa tidak, kota Mumbai yang dikenal sebagai sentra bisnis mendadak diserang secara membabi buta oleh sekelompok pria bersenjata. Sebanyak 174 jiwa melayang sia-sia, sementara lebih dari 300 penyintas mengalami luka-luka. Serangan dilancarkan ke delapan titik di berbagai penjuru kota, termasuk hotel bintang lima bernama The Taj Mahal Palace Hotel yang kerap menjadi singgahan orang-orang penting dari seluruh dunia. Menilik statusnya sebagai hotel terkemuka, tidak mengherankan jika kemudian lokasi ini menyumbang jumlah korban cukup besar. Ada ratusan manusia yang dijadikan sandera selama tiga hari yang kemudian mendorong media-media asing untuk meliput peristiwa penyanderaan tersebut. Mereka melakukan reportase sekaligus melontarkan tanya berbunyi “siapa dalang dibalik peristiwa ini?”, “apa motivasi yang melandasinya?”, “bagaimana situasi di dalam hotel?”, dan “akankah pasukan khusus dari New Delhi mampu datang tepat waktu untuk menyelamatkan para sandera?.” Empat buah tanya yang harus diakui terdengar seksi nan menggelitik untuk dijadikan sebagai bahan utama bagi lahirnya sebuah film panjang. Dan tentu saja, kesempatan ini tak disia-siakan begitu saja oleh sineas dari India yang lantas menelurkan The Attacks of 26/11 (2013), lalu disusul oleh sineas asal Prancis lewat Taj Mahal (2015, sempat tayang pula di Indonesia), dan paling baru adalah kolaborasi dari tiga negara; Australia, India, serta Amerika Serikat dalam wujud Hotel Mumbai.

April 14, 2019

REVIEW : SUNYI (DEATH WHISPER)


“Senioritas kan bagus buat character building.”

Jika Indonesia memiliki Jelangkung (2001) yang dianggap sebagai salah satu film paling berjasa dalam membangkitkan kembali perfilman tanah air dari mati suri, maka Korea Selatan mempunyai Whispering Corridors (1998) yang merayakan lahirnya kebebasan dalam berekspresi setelah berpuluh-puluh tahun lamanya pemerintah memberlakukan sensor ketat terhadap industri kreatif. Dalam instalmen pertama dari lima seri film ini – kesemuanya dipersatukan oleh latar tempat dan tema – si pembuat film tak segan-segan melontarkan beragam kritik khususnya perihal sistem pendidikan di Korea Selatan yang dinilai terlalu menekan siswa. Keberaniannya menyuarakan keresahan masyarakat inilah yang membuat Whispering Corridors memperoleh sambutan hangat dari publik, sekalipun secara kualitas tergolong mengenaskan. Setelah mengakhiri franchise lewat A Blood Pledge (2009), atau setidaknya sampai saat ini, “koridor berbisik” memutuskan untuk berkelana ke pasar internasional. Tujuan pertama yang mereka sambangi adalah Indonesia dimana Pichouse Films menunjukkan ketertarikan untuk mengadaptasinya ke dalam versi Indonesia menggunakan tajuk Sunyi. Seperti halnya judul-judul yang tergabung dalam waralaba tersebut, Sunyi pun enggan mengadopsi jalinan pengisahan yang memiliki kesinambungan dengan jilid awal. Satu-satunya benang merah yang dibawanya adalah tema besar yang memperbincangkan soal kebobrokan dalam institusi pendidikan.

April 13, 2019

REVIEW : AVE MARYAM


“Kalau surga saja belum pasti buat saya, untuk apa saya mengurusi nerakamu?”

Jika hanya ada satu kata yang bisa dipilih untuk mendeskripsikan Ave Maryam, maka saya akan memilih kata “cantik”. Film arahan Robby Ertanto (7 Hati 7 Cinta 7 Wanita, Dilema) ini memang mempunyai tampilan visual yang akan membuatmu geleng-geleng kepala dan kemungkinan besar bakal menginspirasi para selebgram untuk menghiasi feed mereka dengan pemandangan senada. Ya, sedari teaser trailer-nya pertama kali diperkenalkan ke hadapan publik, Ave Maryam memang telah menyita perhatian berkat gambar-gambarnya yang aduhai. Seolah-olah mengindikasikan bahwa ini bukanlah film buatan sineas tanah air. Disamping visual yang memang didesain untuk memanjakan mata, faktor lain yang mendorong ketertarikan terhadap Ave Maryam – setidaknya bagi saya secara pribadi – adalah tema yang ditawarkan. Memang benar film masih berkutat dengan urusan percintaan, dimana sekali ini turut menjamah area cinta terlarang. Yang kemudian membuatnya tampak berbeda adalah latar penceritaan yang membawa khalayak menapaki teritori yang sangat teramat jarang disentuh oleh perfilman Indonesia, yakni susteran dan Gereja Katolik. Saya ingin melihat bagaimana Ave Maryam merepresentasikan kaum minoritas yang kerap terlupakan dalam sinema tanah air, saya ingin melihat bagaimana si pembuat film mengelaborasi topik pembicaraan yang terhitung sensitif (kisah kasih antara romo dengan suster!), dan saya juga ingin melihat bagaimana film mencoba memberi sedikit warna ditengah monotonnya variasi tema dalam film-film yang menyebutnya sebagai “tontonan reliji”. Terdengar menjanjikan, bukan?

April 10, 2019

REVIEW : PET SEMATARY (2019)


“Sometimes dead is better.”

Dalam beberapa tahun terakhir ini, para petinggi studio raksasa di Hollywood sedang sedang getol-getolnya memberikan interpretasi baru terhadap beberapa karya legendaris Stephen King yang sebelumnya sudah pernah diadaptasi ke medium film. Ada Carrie (2013) yang tidak sedikitpun mendekati versi 1976 yang dapat dikategorikan sebagai salah satu “film horor terbaik sepanjang masa”, lalu ada dwilogi It (2017, 2019) yang mampu menghadirkan level kengerian sekaligus kesenangan diatas versi lampaunya, dan paling baru adalah Pet Sematary yang versi 1989-nya belakangan berkembang menjadi cult film dengan penggemar loyal cukup masif. Berhubung adaptasi terdahulu dari ‘teror mengerikan dari kuburan hewan’ memiliki kualitas penggarapan yang lebih mendekati It yang cenderung semenjana ketimbang Carrie yang luar biasa (akting Sissy Spacek yang ngeri ngeri sedap terlalu sulit dilampaui!), maka seharusnya mudah saja bagi duo sutradara, Kevin Kölsch and Dennis Widmyer, untuk mengkreasi sebuah adaptasi baru – plus remake – yang layak bagi Pet Sematary. Apalagi mereka memperoleh suntikkan dana lebih tinggi dan disokong pula oleh jajaran pemain yang mempunyai jejak rekam berlakon terhitung baik. Jadi, ditengok di atas kertas, apa sih yang mungkin salah dari versi termutakhir Pet Sematary ini?

April 7, 2019

REVIEW : MANTAN MANTEN


“Cerita orang itu beda-beda. Jangan memakai pengalaman satu orang untuk membandingkan dengan diri sendiri. Kalau kamu terus membandingkan, nanti kamu jadi susah bersyukurnya.”

(Ulasan di bawah ini turut membahas babak pamungkas, jadi berhati-hatilah kalian yang anti spoiler!)

Apabila hanya berpatokan pada materi promosi yang digeber oleh Visinema Pictures (Love for Sale, Keluarga Cemara), entah itu dari poster berwarna merah muda yang unyu-unyu maupun kutipan-kutipan mengenai mantan di media sosial, saya cukup meyakini sebagian besar dari kita pasti mengira Mantan Manten sebagai film percintaan yang diniatkan untuk bikin gemas para penontonnya. Kalaupun ternyata dugaan tersebut meleset, paling tidak film masih berpijak di genre romansa dengan pendekatan beralih ke melodrama yang meminta para pemirsanya untuk bersedu sedan terhadap nasib karakter utamanya yang pilu. Berhubung saya tergolong konservatif – dan tidak pula banyak menggali info mengenai film ini sebelum menonton – sudah barang tentu dua ekspektasi ini yang saya tetapkan tatkala menyimak Mantan Manten yang ternyata oh ternyata membuat saya terkezut. Alih-alih mengkreasinya sebagai film percintaan konvensional dimana fokusnya tertambat pada hubungan dua sejoli yang tengah dimabuk asmara, Farishad Latjuba (film sebelumnya pun berhubungan dengan kekasih dari masa lampau, Mantan Terindah) selaku sutradara mencoba untuk membelokkannya. Tak sebatas berceloteh soal pahit manisnya cinta, film turut menyinggung budaya Jawa dengan segala unsur mistis yang melingkunginya serta isu women empowerment dimana si karakter perempuan tidak dideskripsikan tunduk pada lelaki yang dicintainya melainkan sebagai seorang pejuang yang menolak untuk menyerah pada keadaan.

April 6, 2019

REVIEW : SHAZAM!


“Hey, what's up? I'm a superhero.”

Sebagai seseorang yang tidak pernah bisa cocok dengan gelap-gelapan ala DC Extended Universe (DCEU), saya tentu bersorak bahagia begitu mengetahui bahwa mereka telah mempertimbangkan untuk ganti haluan. Dimulai dari Wonder Woman (2017) yang mengedepankan isu women empowerment dengan penuh suka cita lalu disusul oleh Aquaman (2018) yang membuktikan bahwa “norak” tidak selalu berarti negatif, kini DCEU menghadirkan sebuah superhero movies yang paling ramah penonton cilik, Shazam! Tak seperti rekan-rekan sejawatnya dari semesta serupa yang memiliki nama besar, Shazam! bukanlah jagoan yang dielu-elukan oleh generasi muda masa kini. Bahkan tak sedikit pula yang bertanya-tanya, “siapakah sih dia sebenarnya?”.  Padahal karakter bernama asli Captain Marvel ini (well, setidaknya di awal kemunculannya sebelum kemudian diubah demi menghindari konflik dengan tetangga) telah diperkenalkan sedari tahun 1939 dan konon pernah pula disejajarkan dengan popularitas Superman. Versi layar lebarnya pun sejatinya sudah dipersiapkan sedari awal 2000-an tapi terus terkatung-katung selama bertahun-tahun lamanya yang salah satu sebabnya dipicu oleh ambisi Warner Bros. untuk menghadirkan nada penceritaan yang bermuram durja (!). Usai mengalami berbagai pengembangan sekaligus perombakan di sejumlah sektor, Shazam! yang ditangani oleh David F. Sandberg (Lights Out, Annabelle Creation) ini akhirnya diputuskan untuk dilepas sebagai tontonan dengan warna pengisahan mengikuti materi sumbernya. Itu berarti, bersinonim erat dengan kata sifat berbunyi: cerah ceria, kocak, serta penuh dengan kegembiraan. Tiga hal yang memang acapkali saya harapkan bisa diperoleh dari superhero movies.

April 1, 2019

REVIEW : DUMBO


“We're all family here, no matter how small.”

Sedari kesuksesan secara finansial yang direngkuh oleh Alice in Wonderland (2010), Walt Disney Studios mendadak keranjingan untuk menginterpretasi ulang film animasi klasik koleksi mereka ke dalam format live action. Meski satu dua diantaranya mendapat ulasan kurang menggembirakan dari kritikus lantaran dianggap tidak mampu menangkap sisi magis dari materi sumbernya, tapi sulit untuk disangkal bahwa demand dari publik terhitung tinggi – pengecualian untuk Alice Through the Looking Glass (2016) yang babak belur dihajar berbagai pihak. Maka jangan heran jika kemudian rumah produksi penghasil Mickey Mouse ini terus menelurkan judul-judul adaptasi dari tontonan animasi legendaris. Bahkan, pada tahun 2019 ini sendiri terdapat 4 film yang siap dilepas (!) termasuk The Lion King, Aladdin, serta Dumbo yang dipilih sebagai “pembuka parade”. Berbeda dengan dua film pertama disebut yang berasal dari era keemasan atau Disney Renaissance (1989-1999), Dumbo merupakan versi live action dari salah satu film animasi Disney di era-era awal yang berlangsung bersamaan dengan Perang Dunia I. Sebuah pilihan yang harus diakui beresiko mengingat film ini kemungkinan kurang familiar di telinga penonton awam khususnya bagi mereka yang tinggal di luar negeri Paman Sam. Terlebih lagi, versi asli Dumbo hanya berdurasi sepanjang satu jam dengan sebagian besar karakternya diisi oleh binatang-binatang yang berdialog menggunakan tindakan dan gaya penceritaannya pun tergolong surealis. Saya pun dibuat bertanya-tanya, “apa ya pendekatan yang akan ditempuh oleh si pembuat film agar membuat sajiannya ini terlihat menarik di mata penggemar sekaligus penonton anyar apalagi ada gajah bertampang menggemaskan disini?.”
Mobile Edition
By Blogger Touch