“Bapak nggak salah.”
Dalam kasus pelecehan seksual,
siapa sebetulnya yang patut dipersalahkan dan semestinya menerima ganjaran atas
“ketidakberdayaannya”? Apakah pelaku yang tunduk kepada hawa nafsunya atau
korban yang tak kuasa dalam memberi perlawanan? Apabila fungsi hukum
diberlakukan secara semestinya serta bersedia patuh pula pada akal sehat maupun
bukti-bukti, maka sudah barang tentu pelaku adalah pihak yang sepatutnya
bertanggungjawab. Sebab, mereka telah memaksakan kehendak kepada orang yang tak
pernah memberikan persetujuan atas tindakan-tindakan mereka. Akan tetapi,
realita di lapangan nyatanya tak berbicara demikian karena para penegak hukum
(sekaligus masyarakat tukang ikut campur) merasa bahwa letak kesalahan justru
ada di korban lebih-lebih jika kasus ini merundung perempuan. Alih-alih
mempertanyakan motivasi pelaku, mereka justru mengemukan pertanyaan-pertanyaan
yang menyudutkan korban seperti: apa pakaian yang dikenakan oleh si A? Saat
diperkosa atau dilecehkan, apa benar dia tidak sedang dalam pengaruh narkoba
atau minuman beralkohol? Kenapa sih si A malah pergi ke tempat kejadian perkara
padahal sudah memahami resikonya? Bukannya perempuan seharusnya sudah mendekam di
rumah ya selepas jam-jam tertentu? Dalam pandangan publik yang masih menjunjung
tinggi budaya patriarki (secara sadar maupun tidak), korban nyaris mustahil
untuk menang. Kalaupun akhirnya ditindaklanjuti, jalan keluar yang diambil
seringkali bersifat kekeluargaan ketimbang benar-benar menindak tegas perbuatan
pelaku sehingga tak mengherankan jika kemudian banyak yang memilih untuk bungkam
dan tenggelam dalam trauma.