“Kalau kamu diam saja melihat ketidakadilan, itu artinya kamu sudah
kehilangan rasa kemanusiaan.”
Ada banyak gegap gempita
mengiringi perilisan Gundala. Entah itu
disebabkan oleh faktor sutradara maupun semesta penceritaan ambisius yang
melingkunginya. Pada mulanya, ketertarikan saya terhadap film yang didasarkan
pada komik rekaan Hasmi ini semata-mata disebabkan oleh keterlibatan Joko Anwar
(Pintu Terlarang, Pengabdi Setan) di kursi penyutradaraan.
Saya dibuat bertanya-tanya, bagaimana jadinya saat sutradara spesialis horor
mengkreasi tontonan superhero? Terlebih lagi, genre ini terhitung masih langka
dijumpai di perfilman tanah air. Pada dasarnya, saya sudah memiliki alasan
lebih dari cukup untuk menantikan film ini. Jajaran pemain yang dilibatkan –
hey, ada Abimana Aryasatya lho! – juga amat menarik perhatian. Jika ada yang
kemudian membuat diri ini benar-benar tak kuasa menahan rasa penasaran dan
ekspektasi yang membumbung tinggi adalah upaya Screenplay Films beserta
Bumilangit Studios untuk mengikuti jejak Marvel Cinematic Universe. Dalam artian,
mereka membentuk satu semesta penceritaan bernama Jagat Sinema Bumilangit yang
tersusun atas delapan judul film berdasar komik kepahlawanan lokal keluaran
Bumilangit. Gundala yang memperoleh
suntikan dana cukup besar dipersiapkan sebagai film pertama sekaligus gerbang
pembuka bagi tatanan pengisahan lebih luas dalam dunia superhero tanah air. Sebuah
proyek yang mesti diakui sangat berani, unik, serta ambisius sehingga sulit
untuk tidak menaruh perhatian kepadanya.