August 30, 2019

REVIEW : GUNDALA (2019)


“Kalau kamu diam saja melihat ketidakadilan, itu artinya kamu sudah kehilangan rasa kemanusiaan.”

Ada banyak gegap gempita mengiringi perilisan Gundala. Entah itu disebabkan oleh faktor sutradara maupun semesta penceritaan ambisius yang melingkunginya. Pada mulanya, ketertarikan saya terhadap film yang didasarkan pada komik rekaan Hasmi ini semata-mata disebabkan oleh keterlibatan Joko Anwar (Pintu Terlarang, Pengabdi Setan) di kursi penyutradaraan. Saya dibuat bertanya-tanya, bagaimana jadinya saat sutradara spesialis horor mengkreasi tontonan superhero? Terlebih lagi, genre ini terhitung masih langka dijumpai di perfilman tanah air. Pada dasarnya, saya sudah memiliki alasan lebih dari cukup untuk menantikan film ini. Jajaran pemain yang dilibatkan – hey, ada Abimana Aryasatya lho! – juga amat menarik perhatian. Jika ada yang kemudian membuat diri ini benar-benar tak kuasa menahan rasa penasaran dan ekspektasi yang membumbung tinggi adalah upaya Screenplay Films beserta Bumilangit Studios untuk mengikuti jejak Marvel Cinematic Universe. Dalam artian, mereka membentuk satu semesta penceritaan bernama Jagat Sinema Bumilangit yang tersusun atas delapan judul film berdasar komik kepahlawanan lokal keluaran Bumilangit. Gundala yang memperoleh suntikan dana cukup besar dipersiapkan sebagai film pertama sekaligus gerbang pembuka bagi tatanan pengisahan lebih luas dalam dunia superhero tanah air. Sebuah proyek yang mesti diakui sangat berani, unik, serta ambisius sehingga sulit untuk tidak menaruh perhatian kepadanya.

August 26, 2019

REVIEW : EXIT (2019)


“Earthquakes, tsunami, those aren’t the only types of disaster. Our current situation itself is a disaster.”

Biasanya, saya paling benci mendengar suara manusia saat pemutaran film sedang berlangsung di bioskop. Apalagi jika film yang tengah ditonton membutuhkan konsentrasi, perenungan, atau perasaan dari penonton agar bisa merasuk ke dalam dunia ciptaan sang sineas. Rasanya ingin sekali menyuwir-nyuwir mulut si ceriwis yang mengganggu itu! Tapi saat menyaksikan sajian terbaru keluaran CJ Entertainment yang menjejakkan dirinya di genre komedi laga, Exit, saya justru merasa sangat lega begitu menyadari bahwa diri ini dikelilingi oleh penonton-penonton reaktif alih-alih pemalu. Sepanjang durasi mengalun, ada beragam celotehan meluncur dari orang-orang di sekeliling berbunyi: 1) “Mas, mas, mas, ati atiiii….”, 2) “Ya Allah Ya Rabbi, astaghfirullah…”, sampai 3) “astaga, astaga, astaga, aaaaa… aaaaa… sik, sik sik, jangan lompat, jangan lompat.” Dan berhubung film debut penyutradaraan dari Lee Sang-geun ini memang berada di jalur eskapisme yang membutuhkan partisipasi penonton, maka menonton bersama crowd yang hidup adalah sebuah berkah lantaran dapat menebalkan sisi excitement yang diusungnya. Terkadang saya terkekeh-kekeh mendengar celetukan penonton yang heboh itu, tapi lebih seringnya, tawa dipicu oleh rentetan kekonyolan yang disodorkan oleh Exit. Sebuah film yang berulang kali menempatkan saya dalam fase bergembira ria karena humornya dan kesulitan untuk menghembuskan nafas saking tegangnya.

August 23, 2019

REVIEW : WEATHERING WITH YOU (TENKI NO KO)


“Memangnya kenapa kalau kita tidak bisa lagi melihat matahari? Aku lebih menginginkanmu daripada langit biru.”

Perkara bikin baper berkepanjangan lewat tontonan animasi, tidak ada yang lebih jago dari Makoto Shinkai. Sejak mencuri perhatian saya untuk pertama kali lewat 5 Centimeters per Second (2007) yang bikin hati jutaan umat manusia terpotek-potek, Shinkai secara konsisten menghadirkan sajian berkualitas diatas rata-rata. Dia jago mengkreasi kisah cinta menghanyutkan hati berlatar cerita rakyat Jepang yang mistis, dia jago pula menghadirkan tampilan animasi menakjubkan mata dengan pendekatan fotorealistik. Hanya tinggal menunggu waktu baginya untuk memperoleh rekognisi lebih luas – sekaligus dipandang sebagai bapak animasi Jepang modern bersama Hayao Miyazaki – yang ternyata tiba dengan cepat. Melalui Your Name (2016) yang tercatat sebagai salah satu anime layar lebar dengan pendapatan tertinggi di seluruh dunia, kesempatan bagi Shinkai untuk mendapat perhatian dunia akhirnya tiba. Dalam film yang mempertemukan genre romansa dengan body swap comedy, disaster film, fiksi ilmiah, serta fantasi ini, beliau membuat para penonton terperangah, jatuh hati, sampai kemudian terserang baper berkepanjangan. Bagi sebagian penonton, Your Name adalah mahakarya dari Shinkai… dan saya pun mengamininya. Sulit untuk tak jatuh cinta kepadanya, sulit juga untuk membayangkan, apa gebrakan yang akan diberikan oleh sang sutradara selepas ini? Pertaruhan jelas tinggi, beban jelas besar. Kala Weathering with You diumumkan sebagai karya terbaru, tak pelak berbagai macam perasaan menyeruak menjadi satu. Antara gembira, bersemangat, penasaran, sampai khawatir dapat dirasakan menggelayuti diri.

August 20, 2019

REVIEW : MAKMUM


“Memang ada setan yang khusus mengganggu orang sholat.”

Guys, apakah kalian pernah merasa tiba-tiba merinding dan seolah-olah ada makmum saat sedang sholat sendirian di malam hari? Seolah-olah ada seseorang ikut sholat di belakang kita, padahal tak ada seorang pun di sekitar? Saya pernah merasakannya yang menyebabkan ibadah menjadi tidak khusyuk serta mengalami kegelisahan. Jika tidak sanggup mengatasi kegelisahan ini, kadang saya membatalkannya lalu memulai sholat kembali dengan membelakangi tembok. I know it sounds silly, but it works for me! Melihat angka penonton yang terhitung tinggi untuk film pendek arahan Riza Pahlevi, Makmum, di situs Youtube, saya curiga, banyak diantara khalayak yang pernah mengalami pengalaman serupa. Entah dipengaruhi faktor supranatural atau semata-mata disebabkan imajinasi yang kelewat liar lantaran seorang diri di rumah. Satu yang jelas, publik terkoneksi dengan apa yang dicelotehkan oleh film berdurasi 8 menit ini sampai-sampai rumah produksi Dee Company beserta Blue Water Films merasa perlu untuk mengembangkannya menjadi film layar lebar. Sang kreator tidak lagi direkrut menjadi sutradara untuk versi panjang yang sekali ini diserahkan kepada Hadrah Daeng Ratu yang sebelumnya berpengalaman menggarap dua film seram dengan kualitas bertolak belakang, Jaga Pocong (2018) dan Malam Jumat The Movie (2019). Mengingat materi sumbernya yang serba terbatas dalam hal narasi tapi efektif membangun kengerian, satu pertanyaan lantas muncul, bisakah versi perpanjangannya ini tampil lebih baik?

August 17, 2019

REVIEW : BUMI MANUSIA


“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”

(Ulasan ini mungkin mengandung spoiler bagi penonton yang tidak membaca novelnya)

Mengekranisasi sebuah novel jelas bukan perkara mudah, lebih-lebih jika novel bersangkutan sudah mempunyai basis penggemar yang loyal. Si pembuat film mesti legowo menghadapi serbuan komentar dari jutaan kepala yang masing-masing telah memiliki imajinasi tersendiri terkait penggambaran latar, situasi, maupun karakter kesayangan mereka. Ada yang bersuka cita karena novel kesayangannya diwujudkan menjadi gambar hidup, ada yang menyimpan keraguan tapi masih bersedia memberi kesempatan, dan ada juga yang secara terang-terangan menunjukkan keberatannya sedari awal. Tiga jenis penggemar yang sejatinya bisa dijumpai dari novel jenis apapun, tak terkecuali sastra Indonesia bertajuk Bumi Manusia yang merupakan babak awal dari Tetralogi Pulau Buru rekaan Pramoedya Ananta Toer. Sedari mula proyek pembuatan film adaptasinya dicanangkan, pro dan kontra tak henti-hentinya mengiringi pemberitaan. Dari tadinya dipinang oleh Oliver Stone tapi belakangan diemohi sang pengarang karena ingin film digarap oleh anak bangsa, lalu berpindah ke sutradara kontroversial Anggy Umbara, sampai akhirnya mendarat di pangkuan Hanung Bramantyo (Sang Pencerah, Kartini) yang mempunyai jejak rekam baik dalam mengkreasi film berlatar sejarah. Saat film secara resmi ditangani oleh Hanung dibawah naungan Falcon Pictures, setidaknya ada dua poin keberatan yang paling sering disorot oleh penggemar: 1) upaya sang sutradara untuk menitikberatkan pada elemen percintaan, dan 2) penunjukkan Iqbaal Ramadhan, pelakon utama dalam Dilan 1990 (2018), sebagai pemeran Minke si karakter sentral.

August 15, 2019

REVIEW : DORA AND THE LOST CITY OF GOLD


“You know the jungle, it’s a part of you. But exploring is not a game, and you don’t look before you leap.”

Bersama dengan Spongebob Squarepants, Dora the Explorer adalah salah satu serial animasi yang populer di Indonesia pada tahun 2010-an. Tidak hanya membuat para penontonnya gemar mereka ulang dialog andalannya seperti “Swiper, jangan mencuri!” atau menyanyikan tembang penutup “berhasil, berhasil, hore!”, serial ini turut menciptakan tren berupa rambut bergaya bob ala Dora, tas ransel berwarna ungu, sampai segala pernak-pernik yang digandrungi perempuan-perempuan cilik. Ya, Dora the Explorer memang terhitung sebagai serial yang fenomenal dan ini tidak hanya berlaku di Indonesia tetapi juga negeri asalnya, Amerika Serikat, dimana serial tersebut tercatat memiliki episode terpanjang sepanjang sejarah kanal Nick Jr. Menilik pencapaiannya dalam hal menciptakan massa pendukung, tidak mengherankan jika kemudian petinggi studio di Hollywood tertarik untuk mengejawantahkannya ke dalam film layar lebar berformat live action meski keputusan ini mengundang tanda tanya besar. Bagaimana caranya kamu mengadaptasi sebuah serial yang difungsikan sebagai program edukasi untuk anak-anak (khususnya dalam mempelajari Bahasa Spanyol) menjadi sebuah film cerita yang bisa dinikmati oleh penonton segala usia? Belum apa-apa, versi layar lebar dari Dora the Explorer yang bertajuk Dora and the Lost City of Gold terdengar seperti misi yang mustahil sampai kemudian saya menengok sendiri hasil akhirnya yang ternyata oh ternyata… sangat menghibur!

August 12, 2019

REVIEW : MAHASISWI BARU


“Kehilangan bukan alasan buat berhenti berjuang. Tapi alasan untuk terus bergerak.”

Apa yang pertama kali terlintas di benakmu saat mendengar kata “maba” atau mahasiswa/i baru? Remaja polos dari kampung yang membawa mimpi besar-besar ke kota? Atau remaja dengan penampilan bergaya yang mencoba untuk memberikan impresi bagus kepada senior di kampus? Apapun definisimu untuk “maba”, satu hal yang bisa dipastikan adalah usianya berada di kisaran 18 hingga 20 tahun. Karena bagi sebagian besar orang, status “maba” erat kaitannya dengan remaja yang baru saja selesai menimba ilmu di SMA. Sebuah pandangan yang tak sepenuhnya salah mengingat jarang ditemukan pria/wanita berusia di atas 30 tahun yang memutuskan untuk mengambil studi S1, sekalipun bukan berarti sama sekali tidak ada. Dalam produksi terbaru MNC Pictures yang bertajuk Mahasiswi Baru, sutradara Monty Tiwa (Matt & Mou, Pocong the Origin) mencoba menghadirkan sedikit pelintiran dengan mengusung premis: bagaimana jadinya kalau seorang nenek berusia 70 tahun memilih menjadi seorang mahasiswi untuk pertama kalinya? Sebuah premis yang sedikit banyak mengingatkan pada Life of the Party (2018) dan Helicopter Eela (2018), meski kedua judul ini tak seekstrim Mahasiswi Baru yang benar-benar menampilkan seorang nenek (bukan lagi ibu rumah tangga berusia 40-an!) sekaligus menyuarakan pesan “usia bukanlah penghalang bagi seseorang untuk belajar”. Terdengar menggugah selera, bukan?

August 10, 2019

REVIEW : SCARY STORIES TO TELL IN THE DARK


“Some people believe, if we repeat stories often enough they become real. They make us who we are. That can be scary.”

Sebelum disadur menjadi sebuah tontonan seram untuk dikonsumsi di layar lebar, Scary Stories to Tell in the Dark lebih dulu dikenal sebagai buku kumpulan cerita yang ditujukan bagi pembaca cilik. Bukan buku dongeng biasa, tentu saja, mengingat buku ini dapat memberikan efek samping kepada kanak-kanak berupa enggan mematikan lampu saat tidur, berulang kali mengintip dari balik selimut sebelum memejamkan mata, meminta orang tua untuk mengecek kolong kasur, sampai paling parah: mimpi buruk. Saking besarnya dampak yang diberikan oleh buku rekaan Alvin Schwartz ini, tidak mengherankan jika kemudian sempat muncul gelombang protes dari beberapa pihak yang menilai konten cerita buku ini kurang layak dikonsumsi oleh bocah dibawah umur. Scary Stories to Tell in the Dark yang terinspirasi dari cerita rakyat maupun legenda urban ini memang menawarkan sederet kisah menyeramkan yang memiliki nada penceritaan lebih “gelap nan kejam” ketimbang (katakanlah) Goosebumps. Bahkan, buku antologi tersebut didukung pula oleh ilustrasi bernuansa disturbing goresan Stephen Gammell yang konon sering disebut-sebut sebagai penyumbang teror sesungguhnya melebihi dongeng gubahan Schwartz (!). Menarik, bukan? Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apakah versi adaptasinya yang digarap oleh Andre Ovredal (Trollhunter, The Autopsy of Jane Doe) mampu memberikan rasa ngeri serupa dengan materi sumbernya yang fenomenal ini? 

August 6, 2019

REVIEW : HOBBS & SHAW


“If the three of us don’t work together, billions of people will die.”

Saat franchise The Fast and the Furious yang semakin menggelegar dalam perjalanannya memutuskan untuk merekrut aktor karismatik Dwayne Johnson sebagai salah satu karakter inti, Luke Hobbs, khalayak sudah bisa menerka kemana arahnya. Entah cepat atau lambat, dia akan mendapatkan peran sangat signifikan melebihi Vin Diesel selaku pemeran utama. Benar saja, selepas Jason Statham mengambil peran di Furious 7 (2015) sebagai villain bernama Deckard Shaw – tapi belakangan beraliansi dengan para jagoan – dimana karakternya kerap digambarkan bersinggungan dengan Luke Hobbs, gagasan untuk mengkreasi sebuah film sempalan bagi dua bintang laga ini pun mencuat. Terlebih lagi, Hobbs dan Shaw telah mencuri hati banyak penggemar berat berkat karisma besar dua pelakonnya dan rivalitas diantara karakter-karakter ini memberi kesegaran tersendiri bagi franchise. Jadi mengapa tidak memberi keduanya sebuah platform khusus agar bisa saling baku hantam maupun saling ejek secara intens tanpa harus terdistraksi oleh Dominic Toretto dan tim? Bukankah terdengar seperti ide bagus untuk mempersilahkan penonton berkenalan lebih jauh dengan Hobbs dan Shaw yang sejatinya memiliki karakteristik lebih menarik (well, setidaknya bagi saya) ketimbang Toretto ini?

August 1, 2019

REVIEW : PARASITE


“Does Oxford have a major in document forgery? Your sister would be top of the class.”

Dalam karya terbarunya bertajuk Parasite yang dianugerahi Palme d’Or (penghargaan tertinggi) di Festival Film Cannes 2019 ini, Bong Joon-ho berupaya untuk menelurkan tontonan berpendekatan realis serta dekat dengan keseharian penonton. Tak ada lagi makhluk asing seperti dalam The Host (2006) maupun Okja (2017) atau situasi asing di masa depan semacam Snowpiercer (2013) yang diposisikan sebagai metafora untuk pertentangan kelas antara si kaya dengan si miskin, sekali ini hanya ada manusia-manusia biasa sebagai sorotan utama. Manusia yang berjuang untuk bertahan hidup ditengah peradaban modern yang keras dengan segala tuntutannya untuk memperoleh kesempurnaan beserta pencapaian besar. Hmmm… terdengar seperti bentuk luapan kegelisahan ya? Betul, seperti halnya karya-karya terdahulu, Bong Joon-ho masih tetap mempertahankan kegemarannya dalam melontarkan komentar berisi keresahan-keresahannya terhadap masyarakat dewasa ini khususnya terkait ketimpangan sosial. Yang lantas membedakan Parasite dengan deretan judul dalam filmografi sang sutradara selain guliran penceritaan yang dikondisikan untuk lebih membumi adalah nada penceritaan yang ditetapkan. Menjauhi kesan bombastis maupun bermuram durja, Parasite cenderung mengalun ringan seiring dengan melimpahnya muatan humor di dalamnya. Dalam satu jam pertama, kamu mungkin akan terkecoh mengiranya sebagai sajian komedi mengenai sepak terjang con artist (ahli tipu tipu).

Mobile Edition
By Blogger Touch