February 28, 2020

REVIEW : SEBELUM IBLIS MENJEMPUT AYAT DUA


“Ada beberapa sosok iblis tertentu yang mengharuskan adanya pengorbanan. Korban itu adalah salah satu bentuk dari pengabdian.”

Tepat selepas menonton Sebelum Iblis Menjemput di bioskop pada tahun 2018 silam, saya secara spontan nyeletuk “Aku hambamu, Bung Timo Tjahjanto” seraya menyembah-nyembah layar. Sungguh, film tersebut berhasil menghadirkan pengalaman menonton sajian seram yang begitu seru sekaligus menggedor jantung tanpa henti. Menit demi menitnya senantiasa disusupi intensitas tinggi sampai-sampai tak ada kesempatan bagi penonton untuk melepas nafas lega. Keji sekali memang Bung Timo ini! Tapi siapapun yang mengikuti seluk beluk filmografi sang sutradara tentu paham, dia tak pernah segan-segan dalam menggeber kekerasan. Narasi bukanlah hidangan andalannya, melainkan bagaimana cara dia mengkreasi “kesenangan” dalam film yang bersumber dari penyiksaan, brutalitas, serta muncratan darah. Ya, film-filmnya memang cenderung segmented dan tidak pula cocok ditonton oleh mereka yang berhati lemah. Sebelum Iblis Menjemput sendiri tergolong karyanya yang paling “lunak” menyusul keinginannya untuk berdamai dengan guntingan sensor tanah air yang ganas. Namun selunak-lunaknya Timo, kamu tetap akan mendapati perempuan-perempuan anggun seperti Chelsea Islan, Pevita Pearce, dan Karina Suwandi mendadak saling teriak, saling hajar, hingga gelut habis-habisan di kubangan lumpur. Sebuah pemandangan langka yang tentu tak akan kamu jumpai di film Indonesia manapun, bukan? Saking bersemangatnya melihat mereka disiksa eh maksud saya film ini, hamba tentu bahagia begitu mendapati cerita ternyata tak berakhir sampai disitu saja. Ada sekuel bertajuk Sebelum Iblis Menjemput Ayat Dua dimana sang sutradara menyiapkan lebih banyak tumbal untuk dikorbankan kepada penguasa neraka.

February 26, 2020

REVIEW : SONIC THE HEDGEHOG


“This is my power and I’m not running away any more. I’m using it to protect my friends.”

Saat materi promosi Sonic the Hedgehog ditebar pada permulaan tahun lalu, warganet dan mereka yang mempunyai keterikatan secara personal maupun profesional dengan materi sumber dari film bersangkutan (baca: video game keluaran Sega) sepakat untuk menunjukkan reaksi senada seirama. Meringis, mengernyitkan dahi, lalu mengajukan keluhan secara berantai. Satu poin yang menjadi landasan keberatan pihak-pihak ini adalah visualisasi si karakter utama, Sonic, yang terkesan mengkhianati penggambaran dalam versi aslinya. Upaya si pembuat film untuk memperlihatkannya serealistis mungkin bukan saja melenceng dari pakem, tetapi juga menjadikannya tampak, errr… seram. Ya, mata hamba sampai mendelik sedemikian rupa kala pertama kali melihat wujudnya via trailer. Seolah-olah Paramount memiliki misi ingin menciptakan mimpi buruk bagi penonton cilik dengan menghadirkan tontonan ini. Seriously, it’s so creepy (!). Menuai respon negatif yang teramat sangat kencang dari berbagai penjuru, Sonic the Hedgehog pun diputuskan untuk diundur penayangannya dari semula di bulan November 2019 menjadi Februari 2020. Jeff Fowler selaku sutradara beserta tim memilih untuk merevisi desain si karakter tituler agar lebih setia dengan materi sumbernya dan keputusan ini tidaklah sia-sia belaka karena hasil akhirnya disambut secara riang gembira oleh para penggemar. Saya pun bersyukur tidak harus terdistraksi oleh satu imaji aneh selama menyaksikan Sonic the Hedgehog yang ternyata oh ternyata bisa dengan mudah dinobatkan sebagai salah satu adaptasi video game terbaik yang pernah dibuat.

February 25, 2020

REVIEW : TOKO BARANG MANTAN


“Nggak enak banget rasanya, kalau sesuatu yang kamu anggap besar nggak ada artinya bagi orang lain.”

Dalam Temen Kondangan tempo hari, salah satu karakter nyeletuk “dijual ke toko barang mantan saja, Mas” kepada karakter lain yang mempertimbangkan untuk membuang barang-barang pemberian mantannya demi memenuhi keinginan untuk move on. Ndilalah, MNC Pictures – yang memproduksi film bersangkutan – memiliki film komedi romantis bertajuk Toko Barang Mantan yang memang dicanangkan untuk ambil bagian dalam MCU (Mantan Cinematic Universe). Ada satu tokoh yang mengaitkan dua judul ini, dan sebagai tambahan untuk fun fact, pasangan suami istri di dunia nyata, Prisia Nasution beserta Iedil Dzuhrie Alaudin menjadi penghubung lainnya dimana mereka berlakon dalam dua film berbeda. Tak seperti Prisia yang ditempatkan di garda terdepan, Iedil diposisikan sebagai pendukung bagi duo Reza Rahadian-Marsha Timothy. Dan memang, merekalah yang menjadi daya tarik utama bagi Toko Barang Mantan disamping premisnya yang terdengar unik: bagaimana jadinya kalau ada sebuah toko yang spesialisasinya adalah menjual barang-barang kenangan dari mantan dimana cerita dari setiap barang turut menentukan harganya? Dalam satu masa dimana kata “mantan” telah diromantisasi sekaligus diantagonisasi sedemikian rupa, tentu topik pembicaraan yang disodorkan oleh film ini tidak akan mengalami kesulitan untuk teresonansi dengan publik. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apakah premis menggiurkannya mampu divisualisasikan secara bernas oleh Viva Westi (Jenderal Soedirman, Koki-Koki Cilik 2) selaku sutradara?

February 23, 2020

REVIEW : THE GENTLEMEN


“If you wish to be the king of the jungle, it’s not enough to act like a king. You must be the king. There can be no doubt. Because doubt causes chaos and one’s own demise.”

Usai beberapa tahun terakhir dipercaya untuk menggarap film-film produksi studio besar semacam Sherlock Holmes (2009), The Man from U.N.C.L.E. (2015), King Arthur: Legend of the Sword (2017), sampai versi live action dari Aladdin (2019), Guy Ritchie mencoba untuk kembali ke akarnya yang menapaki ranah komedi-aksi-kriminal dalam film terbarunya yang bertajuk The Gentlemen. Bagi yang telah mengikuti jejak rekam sang sutradara sedari awal mula karirnya, tentu mengetahui bahwa namanya melambung berkat pengarahannya yang penuh gaya di Lock, Stock and Two Smoking Barrels (1998). Bersama dengan Snatch (2000), Ritchie dikenal melalui kegemarannya bermain-main dengan narasi berkenaan dunia para pelaku kriminal di Inggris, gaya penyuntingan yang rancak, penggunaan visual gerak lambat, serta struktur penceritaan yang enggan dipaparkan secara linear. Meski satu dua ciri khasnya tetap dipertahankan kala dirinya membesut film adaptasi berbujet raksasa, tapi dia baru benar-benar resmi kembali ke sajian yang membesarkannya lewat The Gentlemen. Disini, dia sekali lagi mengandalkan pemain ansambel pria untuk melakoni manusia-manusia serakah yang tak berkeberatan bertindak melewati batas guna memuaskan ego, merengkuh keuntungan bagi diri sendiri, serta bertahan hidup. Sebuah potret kelam manusia yang dihantarkan dalam mode komedi laga yang penuh kesenangan, gelak tawa, dan kesukaan penonton masa kini: plot twist.  

February 21, 2020

REVIEW : BRAHMS: THE BOY II


“He’s made a friend.”

Sejujurnya, hamba terkejut saat mengetahui tontonan seram The Boy (2016) dibuatin film kelanjutan bertajuk Brahms: The Boy II. Memang betul bahwa filmnya masih mereguk untung, tapi rasa-rasanya permintaan publik tak sebesar itu dan jalinan pengisahannya sendiri tak lagi menyimpan kejutan. Maksud saya, jilid pertamanya menarik perhatian berkat ambiguitas sosok Brahms si boneka porselen sehingga selama durasi mengalun penonton pun selalu dirundung tanya, “betulkah dia betul-betul melancarkan aksi jahat itu seorang diri? Betulkah dia boneka iblis semacam Chucky atau Annabelle?”. Adanya misteri yang melingkungi pada babak awal membuat film tak saja membetot atensi, tetapi juga menciptakan intensitas. Tak jarang saya dibuat berdebar-debar tiap kali si antagonis berulah sehingga secara otomatis mengundang kewaspadaan dan membentuk kecurigaan. Untuk sesaat, saya tampak sedang disuguhi sajian horor yang unik nan mengesankan sampai film menghamparkan babak pengungkapan yang mendadak mengubah warna penceritaan menjadi thriller alih-alih horor. Tanpa basa-basi lagi, segala daya tariknya langsung ambyar dan narasi pun menjadi teramat sangat generik. Memupuskan segala pesona yang telah dipancarkannya sedari awal. Itulah mengapa begitu Brahms: The Boy II dicanangkan, saya dibuat bertanya-tanya. Apa lagi yang hendak dicelotehkan sementara penonton telah mengetahui bahwa si boneka porselen ternyata bukanlah makhluk supranatural? Bukankah itu membuatnya tak lagi unik?

February 18, 2020

REVIEW : LITTLE WOMEN


“Women have minds and souls, as well as hearts, ambition, and talent, as well as beauty. I'm so sick of being told that love is all a woman is fit for. But… I am so lonely.”

Novel Little Women rekaan Louisa May Alcott yang dirilis pada tahun 1868 memang memiliki jalinan pengisahan yang sederhana. Narasinya mengetengahkan pada proses pendewasaan diri dari empat putri keluarga March di masa berlangsungnya Perang Sipil Amerika Serikat. Akan tetapi, justru kesederhanaannya inilah yang membuat novel tersebut memperoleh sertifikat “klasik”, seraya merebut hati khalayak ramai lintas generasi. Terlebih lagi, jajaran karakternya terasa membumi sehingga banyak pembaca mampu teresonansi dengan lika-liku persoalan yang mereka hadapi, dan topik pembicaraan yang diapungkan oleh si penulis pun akan tetap relevan sampai kapanpun. Mengenai keluarga, cinta, mimpi, pengorbanan, sampai kemanusiaan. Menilik betapa langgengnya konten dari Little Women – plus seberapa universalnya kisah yang disampaikan – tak heran jika kemudian para sineas Hollywood terus mengekranisasinya dari era ke era. Total jendral ada tujuh versi telah dicipta dimana sejumlah bintang besar turut berpartisipasi di setiap versi seperti Katharine Hepburn (1933), Elizabeth Taylor (1949), hingga kombinasi Winona Ryder-Kirsten Dunst-Claire Danes di tahun 1994. Upaya terbaru untuk melestarikan warisan Alcott dengan cara memperkenalkan cerita ini ke generasi muda ditempuh oleh Greta Gerwig (Frances Ha, Lady Bird) melalui film berjudul sama persis, Little Women, yang sekali ini menggaet Saoirse Ronan, Emma Watson, Florence Pugh, Timothee Chalamet, Laura Dern, serta Meryl Streep. Sebuah jajaran pemain ansambel yang memberi kita satu definisi dari kata “menggiurkan”.

February 14, 2020

REVIEW : MILEA SUARA DARI DILAN


“Perpisahan adalah upacara menyambut hari-hari penuh rindu.”

Dalam dwilogi Dilan 1990 (2018) dan Dilan 1991 (2019) yang menjaring jutaan penonton – bahkan tertoreh di sejarah sebagai film Indonesia paling banyak dipirsa – kita telah menjadi saksi bagaimana kisah kasih antara Dilan si panglima tempur (Iqbaal Ramadhan) dengan Milea (Vanesha Prescilla) bersemi dan layu dengan sama cepatnya. Usai dijejali rayuan-rayuan gombal yang membuat para penggemarnya gemas bukan kepalang di jilid pertama yang narasinya mengalun santuy lantaran nyaris tiada konflik, film arahan Fajar Bustomi dan Pidi Baiq ini lantas menghamparkan pendekatan berbeda dalam instalmen kedua. Kalimat berbunga-bunga yang kerap meluncur dari mulut Dilan memang masih ada, tapi intensitasnya mengalami penurunan seiring tak hangatnya lagi hubungan kedua sejoli ini. Pertengkaran demi pertengkaran mewarnai durasi hingga sampai pada satu titik yang bikin hati pengikut Dilanisme seketika nelangsa: mereka memilih untuk berjalan sendiri-sendiri. Tak ada lagi pasangan DiMil, hanya tersisa Dilan dan Milea. Nanges nggak, tuh? Telah mencapai konklusi yang menyatakan bahwa pasangan fiktif ini urung melaju ke pelaminan dalam Dilan 1991, ternyata tak lantas menghentikan Pidi Baiq selaku pemilik cerita dan Max Pictures selaku rumah produksi untuk mengakhiri franchise fenomenal ini. Mereka melaju dengan babak ketiga bertajuk Milea Suara Dari Dilan yang dipersiapkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersisa dari dua seri pendahulunya. Guna memberi penonton perspektif lain dari kisah kasih duo karakter utamanya dimana sekali ini Dilan bertindak selaku narator alih-alih Milea.

February 11, 2020

REVIEW : BIRDS OF PREY


“Psychologically speaking, vengeance rarely brings the catharsis we hope for.”

Meski dihajar sampai babak belur oleh para kritikus jelang perilisannya, perolehan Suicide Squad (2016) di tangga box office sama sekali tak tergoyahkan. Masih sanggup mencetak angka sebesar $746 juta dari peredaran seluruh dunia yang seketika memosisikannya sebagai salah satu instalmen tersukses dalam DC Extended Universe (DCEU). Impresif, bukan? Dan jika kita memperbincangkan tentang kata “impresif” serta keterkaitannya dengan film tersebut diluar faktor pundi-pundi, maka itu membawa kita pada performa Margot Robbie sebagai Harley Quinn alias kekasih Joker (Jared Leto) yang hiperaktif. Peraih dua nominasi Oscars ini adalah salah satu dari sedikit alasan yang menyelamatkan “komplotan bunuh diri” dari keterpurukan yang lebih dalam. Dia bermain dengan penuh energi, karakternya ndilalah juga menarik, dan pihak Warner Bros. pun seketika punya ide gila: memberinya sebuah film solo. Well, secara teknis bukan “konser tunggal” sih lantaran terdapat pula beberapa karakter lain yang turut memanggul peran krusial seperti halnya Suicide Squad. Hanya saja, melalui sajian bertajuk panjang sekali Birds of Prey (and the Fantabulous Emancipation of One Harley Quinn), Mbak Harley mempunyai kuasa lebih untuk mengomandoi narasi tanpa harus mengekor di belakang Joker. Dalam film ini, dia tidak saja mendapat jatah tampil lebih banyak, tetapi juga diposisikan sebagai sentral penceritaan dimana secara tidak langsung dia adalah pemimpin dari sebuah tim berisikan jagoan-jagoan perempuan.

February 4, 2020

REVIEW : TEMEN KONDANGAN


“Kamu itu nggak pernah mikirin kata aku atau diri kamu sendiri. Tapi orang lain.”

Sebagai seseorang yang sering kemana-mana sendiri, bagi saya menghadiri sebuah resepsi pernikahan tanpa gandengan bukanlah suatu persoalan yang mesti dikhawatirkan. Entah itu kondangannya teman baik atau mantan sekalipun. Tapi ternyata, “dateng ke nikahannya mantan” bisa menjadi masalah pelik khususnya bagi kaum hawa yang belum dianugerahi pasangan. Saking bermasalahnya, sampai-sampai terbit satu golden rule berbunyi: jangan datang sendirian. Sebuah aturan yang tadinya sempat hamba kira sebagai guyonan belaka untuk menggerakkan narasi film terbaru MNC Pictures, Temen Kondangan, sampai kemudian dua orang kawan dari medium berbeda (maksudnya, dunia maya dan dunia nyata gituuu…) mengungkapkan keresahan yang pernah dialaminya. Keresahan tersebut bermula usai dia mendapatkan undangan kawinan dari sang mantan, sementara pada saat itu dia masih menyandang status jomlo. Meski teman ngobrol saya ini sempat kepikiran untuk mengajak teman lelakinya sebagai gandengan, belakangan dia tak berkeberatan untuk datang sendiri bersama rombongan dari teman-teman sepermainannya dulu. Sungguh sebuah cerita menggelitik yang sedikit banyak menyadarkan saya bahwa pergulatan batin yang dihadapi oleh karakter utama dalam Temen Kondangan memang nyata adanya terutama bagi mereka yang kerap menganggap penting omongan orang.

February 3, 2020

REVIEW : MANGKUJIWO


“Iblis terkuat bersemayam di sini.”

Saat sebuah film mereguk untung besar, tentulah wajar tatkala pihak rumah produksi lantas memutuskan untuk mengembangkannya menjadi satu “kerajaan” berwujud franchise. Disamping Danur beserta “keluarga kecilnya”, perfilman Indonesia juga mempunyai Kuntilanak keluaran MVP Pictures sebagai tontonan horor yang beranak pinak. Selepas era Julie Estelle berakhir, si empunya film lantas melanjutkan Kuntilanak ke era baru dengan pendekatan horor keluarga dimana dua instalmen pertamanya memperoleh respon antusias dari khalayak ramai. Menilik pencapaian yang memuaskan di tangga box office, MVP Pictures pun seketika memberikan lampu hijau bagi pembuatan dua seri lain yang mencakup sebuah sekuel dan sebuah prekuel. Selagi para penggemarnya menantikan kemunculan instalmen ketiga yang baru direncanakan rilis pada libur Lebaran mendatang, satu kisah pendahuluan pun dilepas dengan tajuk Mangkujiwo. Dalam film yang ditangani oleh Azhar Kinoi Lubis (Kafir Bersekutu dengan Setan, Ikut Aku ke Neraka) ini, penonton disodori materi penceritaan yang mengetengahkan pada proses lahirnya sang villain utama dari franchise ini yang tak lain tak bukan adalah Mbak Kunti sendiri. Sebuah materi yang mesti diakui sangat menggugah keingintahuan dan hasrat menonton, terlebih bagi mereka yang telah setia mengikuti seri film ini sedari satu dekade silam.
Mobile Edition
By Blogger Touch