Seperti biasa, postingan soal daftar film terbaik di blog ini akan selalu dimulai dengan... wah, tidak terasa kita telah menapaki hari di tahun baru, sepertinya baru kemarin bla, bla, bla. Saya tahu, kamu kebosanan setengah mati membaca repetisi pembuka ini, tapi hey, ada kegembiraan yang ingin diluapkan dan ucapan syukur yang ingin dipanjatkan di awal tahun ini karena akhirnya aroma kebebasan (untuk sementara waktu) dapat tercium setelah toga bertengger manis di kepala dan ijazah tanda bukti perjuangan selama 5 tahun dihaturkan beberapa bulan silam. Bukankah berita bagus sebaiknya dinikmati secara bersama-sama?
Lalu, ada keterkejutan merasakan dunia kerja yang memiliki ritme sama sekali berbeda dan kejenuhan menjalani studi lanjutan yang, errr... berat. Walau berulang kali menghujani fase anyar dalam hidup ini dengan sederet keluh kesah tak berkesudahan – maklum, masih beradaptasi – tetapi sulit dipungkiri, ada rasa syukur berbalut kebahagiaan dan kebanggaan karena diberi kesempatan oleh Yang Maha Satu untuk memperoleh kenikmatan yang tidak semua orang bisa mencicipinya. Hasrat menapaki masa depan yang terang benderang dijadikan sebagai pondasi utama untuk melecut semangat yang timbul tenggelam. Doa-doa pun tak berhenti dirapalkan, mengharap kekuatan dan keteguhan hati. Ah, jadi meracau kemana-mana.
Kembali ke topik pembahasan. Bagaimana perfilman Indonesia dalam setahun terakhir? Apakah menampakkan perkembangan membahagiakan, berjalan di tempat, atau malah mundur teratur? Well, tatkala menyusun daftar Film Indonesia Terbaik 2014 Versi Cinetariz, kesan didapat tak berhasil membuat hati berbunga-bunga. Pasalnya, ketimbang memberi hentakan lebih keras yang menyadarkan masyarakat bahwa perfilman negeri ini berpotensi besar, apa yang didapat justru suasana adem ayem. Yang membuat hati ini pilu, ada lebih dari 100 judul film yang diproduksi oleh sineas Indonesia sepanjang tahun 2014 lalu... dan tak mencapai separuhnya yang berkualitas di atas rata-rata!
Bukannya tidak ada pembuat film yang menelurkan ide-ide kreatif sarat akan kesegaran, namun menilik masifnya jumlah film yang dirilis di bioskop tahun lalu, angkanya terlampau kecil untuk disebut sebanding. Hanya segelintir mampu membenamkan kesan mendalam, sementara lain berlalu begitu saja seolah-olah tak pernah diciptakan. Bahkan, ketika tahun lalu saya mengeluhkan betapa mudahnya memilah puluhan judul menjadi belasan, maka tahun ini kemudahan itu kian menjadi-jadi. Jika ada kesukaran, itu disebabkan karena kuota 14 film begitu sulit terpenuhi sehingga membutuhkan meditasi cukup panjang dalam menentukan formasi 14 besar.
Tanpa perlu berpanjang lebar kesana kemari lagi, perkenankan Cinetariz mempersembahkan daftar 14 film Indonesia 2014 yang memberikan presentasi mengagumkan:
#14
Marmut Merah Jambu terasa lebih superior dan memiliki greget ketimbang
film-film Raditya Dika yang terdahulu. Ada kejenakaan dan kehangatan yang
ditimbulkan saat film menyoroti persahabatan Dika bersama sahabat-sahabatnya di
SMA, ada rasa manis saat sisi romansa dari film timbul menyeruak, dan ada
gemas-gemas penasaran saat sebuah kasus dilempar kepada grup detektif untuk
dipecahkan, yang lantas dipersatukan oleh Dika dengan lancar menggunakan ramuan
yang tepat. Alhasil, Marmut Merah Jambu pun terhidang sebagai sebuah tontonan
yang unyu-unyu menggemaskan.
#13
Supernova: Ksatria, Putri & Bintang Jatuh
Walau pemuja novel rekaan Dewi Lestari ini (mungkin) menggerutu
menyimak versi film rancangan Rizal Mantovani, tak bisa disangkal Supernova:
Ksatria, Putri & Bintang Jatuh adalah definisi sesungguhnya dari ‘blockbuster
movie’. Di balik jalinan penceritaan yang dari sononya memang begitu mengikat,
terhampar visual penuh kemewahan dan kemegahan yang tak bisa kamu temukan di
film Indonesia manapun.
#12
Melalui cara penuturan yang membubuhkan kadar dramatisasi secukupnya
tanpa pernah menjadi melankolis ditunjang pula oleh permainan akting menawan
dari setiap jajaran pemainnya menjadikan 12 Menit: Kemenangan Untuk Selamanya sebagai
tontonan inspiratif dan menghangatkan hati yang memiliki momen-momen emosional
yang hadir dengan membekas, menyentuh, dan mengaduk-aduk emosi.
#11
The Mo Brothers tak lagi sekadar bermain-main dengan hidangan ‘mandi darah’ di sini, Killers coba dibawa ke ranah yang lebih serius cenderung melankolis dengan jalinan pengisahan yang lebih dalam, kompleks, dan (tentunya) sinting. Ini adalah semacam pembuktian bahwa dalam rentang waktu empat tahun, keduanya telah menunjukkan perkembangan yang membanggakan di sisi filmmaking; lebih matang, lebih terorganisir, dan lebih berani.
#10
Mempunyai tatanan pengisahan yang terasa begitu sederhana namun intim
dan (bisa jadi) personal bagi sebagian penonton dengan pesan kuat soal
menyatukan perbedaan serta semangat pantang menyerah, ditopang oleh barisan
pemain di departemen akting yang masing-masing menyuguhkan performa menawan dan
tangkapan gambar yang memanjakan mata, Tabula Rasa tersaji sebagai sebuah film
yang tidak saja cantik dan mengundang selera ditinjau dari sisi tampilan,
tetapi juga memiliki cita rasa yang lezat, kuat serta menggoyang lidah tatkala
disantap.
#9
Peningkatan memuaskan ditunjukkan oleh Rako Prijanto setelah Sang Kiai yang mengecewakan itu melalui 3 Nafas Likas yang memiliki cita rasa megah dan mahal. Harus diakui, inilah salah satu letak keunggulan dari film – selain akting menawan dari jajaran pemainnya – dengan penggambaran adegan perangnya yang tampak bombastis untuk ukuran film Indonesia dan tata artistik yang mengagumkan. Terlepas dari visualisasinya yang cantik, bolehlah kiranya kita menyebut 3 Nafas Likas sebagai sebuah film nasional yang indah, bersahaja, sekaligus menyentuh.
#8
Sebagai sebuah film yang diformulasikan sebagai film biopik dengan kehebatan cinta sejati di baliknya, Hijrah Cinta membutuhkan satu kata kunci: emosi. Letak kesuksesan film bergantung pada seberapa jauh film mampu mempermainkan emosi penonton sedemikian rupa... dan Hijrah Cinta menyanggupinya. Sepanjang durasi yang mengalun nyaris dua jam, emosi dipompa nyaris tiada henti demi mengikuti jalinan kisah sarat konflik meliuk-liuk mengikuti naik turunnya perjuangan Uje mencapai tatanan hidup lebih baik. Tidak ada pengkultusan di sini, Uje ditampilkan apa adanya bak manusia kebanyakan yang sarangnya lupa dan khilaf. Dengan pola pengisahan semacam ini, para penggemar tontonan tearjerker tentu akan terbahagiakan.
#7
Sajian yang sungguh menghibur dengan kombinasi yang dirangkai dengan tepat guna antara aksi seru penuh kejutan dan humor-humor segar nyeleneh yang mampu memicu ledakan tawa. Meluncur dengan begitu cepat tanpa berlama-lama menuju ke inti penceritaan, si pembuat film melalui kendaraan bernama Comic 8 mengajakmu untuk menikmati sebuah perjalanan yang kacau, terkesan sepele, namun sangat mengasyikkan.
#6
Walau beristirahat akting selama menahun, Dian Sastro tetap luwes berlakon dan memberi kita kejutan dengan menunjukkan betapa mengagumkannya dia dalam berakting komikal. Lukman Sardi yang biasanya terjebak di peran-peran yang cenderung monoton untuk sekali ini tampak segar serta berhasil mengimbangi Dian Sastro yang (tak disangka-sangka) sangat kocak. Keduanya sukses menjalin chemistry sangat meyakinkan sehingga film berbahan dasar premis lezat ini pun terasa semakin renyah untuk dinikmati dan menjelmakan 7/24 sebagai kado indah bagi siapapun yang merindukan Dian Sastro.
#5
Berkat Mari Lari, kepercayaan terhadap masih adanya film buatan negeri yang berkualitas sepanjang tahun ini terus mengapung. Delon Tio memberi kupasan menarik yang rajutan kisahnya mempertautkan konflik ayah-anak yang pelik dengan olahraga lari yang tengah digandrungi oleh masyarakat di ibukota. Perpaduan semacam ini tidak saja membuat Mari Lari terhidang sebagai sebuah tontonan yang inspiratif dan informatif, tetapi juga jenaka, menyentuh, pula memiliki kehangatan yang bisa jadi membuatmu seketika rindu terhadap rumah dan ingin memberikan pelukan kepada orang tua.
#4
The Sun, The Moon, and The Hurricane
Tak banyak sineas dalam negeri yang bersedia meluangkan waktunya – maupun memiliki keberanian – untuk mengekspresikan ide soal kehidupan kaum homoseksual yang penuh dinamika. Bisa dipahami, mengingat lembaga sensor di Indonesia masih belum terbiasa menerima konten semacam ini dan ada pula organisasi keagamaan garis keras yang (pastinya) alergi jika dicekoki isu bertabur seksualitas. Lantas, apakah keberadaan para pemuja moralitas ini menghalangi kebebasan berkarya? Dengan ruang pemutaran semakin terbuka lebar, Andri Cung bisa berkata “masa bodoh!” dan melahirkan The Sun, The Moon, and The Hurricane yang boleh saja kamu sebut sebagai jawaban dari Indonesia untuk Brokeback Mountain. Tanpa dibebani oleh tuntutan-tuntutan industri, si pembuat film mampu bertutur begitu jujur tanpa tedeng alin-aling, dalam penuh makna, manis, sekaligus merobek-robek hati.
#3
Ketimbang melantunkannya menggunakan nada penceritaan yang bermuram durja, Selamat Pagi, Malam justru didominasi oleh keceriaan berisi lontaran-lontaran sarkasme yang menohok. Jenaka dan manis di satu sisi, tetapi di sisi lain pun menyimpan rasa yang pahit. Apakah memang seperti ini Jakarta yang sesungguhnya, tampilan begitu megah menggoda tetapi isinya siapa yang tahu? Boleh jadi memang demikian adanya. Bagaimanapun, Selamat Pagi, Malam adalah sebuah surat cinta untuk Jakarta yang dituangkan dengan begitu cantik, mengikat, dan membuka mata oleh seorang Lucky Kuswandi yang bisa saja membuat siapapun seperti saya semakin enggan untuk memboyong diri ke Jakarta sekaligus membuat siapapun yang mendiami (atau pernah mendiami) Jakarta akan merasa terwakili, tertampar, dan tersentuh.
#2
Tepuk tangan boleh diberikan kepada Angga Dwimas Sasongko karena berhasil mengejewantahkan skrip padat berisi racikan Swastika Nohara dan M Irfan Ramli dengan lancar menghasilkan sebuah gelaran yang tak hanya inspiratif melalui pesan-pesan positif penggugah semangat, tetapi juga hangat penuh hati dan mengoyak-ngoyak emosi sedemikian rupa tanpa pernah lupa pula untuk menjadi menghibur dengan segala humornya. Walau Cahaya Dari Timur: Beta Maluku merentang hingga mencapai 2,5 jam, tak sekalipun film terasa melelahkan untuk diikuti. Sebaliknya, ada ketertarikan dan keterikatan terhadap film saat menyaksikan proses panjang yang kudu ditempuh oleh Sani dalam membawa tim binaannya menuju ke puncak melalui tempaan finansial yang seret, pilihan besar dilematis, pengkhianatan, friksi antar anggota tim dipicu oleh perbedaan, hingga keraguan yang kerap timbul tenggelam. Dan oh, Chicco Jerikho bermain sangat bagus di sini!
#1
The Raid 2: Berandal menunjukkan bagaimana sebuah sekuel seharusnya dibuat. Seluruh elemen terbaik yang dimiliki oleh seri pembukanya dihadirkan kembali untuk kemudian ditambah elemen baru yang belum pernah disaksikan sebelumnya. Beragam bentuk bela diri dalam bentuk hantaman, pukulan, tendangan, sampai bacokan yang berlangsung dimanapun kapanpun tentu ada di sini. Setidaknya ada tiga pertarungan akbar dalam The Raid 2: Berandal yang begitu membekas dirangkai menggunakan koreografi rumit yang membutuhkan presisi, tangkapan kamera yang dinamis, editing yang cekatan, dan alunan musik skoring yang menghentak, sehingga saat menyaksikannya... sungguh sulit untuk bernafas!
Segenap ekspektasi yang telah saya tanamkan untuk film ini, dilampaui dengan begitu mudahnya. Jika apa yang membuatmu jatuh hati di jilid pertama adalah kegilaan aksinya, maka Gareth Evans meningkatkannya hingga berlipat-lipat di sini dengan kekerasan yang tak tertahankan. Jika jalinan pengisahan yang sedemikian tipis di film sebelumnya membuatmu mendengus kecewa, maka Gareth Evans melunasinya di sini melalui tuturan yang lebih kompleks dan membutuhkan sedikit perhatian untuk bisa mencernanya dengan baik. Gareth Evans tidak lagi bermain-main demi terwujudnya sebuah sekuel yang epik... dan itu memang terwujud dalam The Raid 2: Berandal!
Pendekar Tongkat Emas dan Garuda19 gak masuk gan? :D
ReplyDeleteNope. Kedua film itu buatku mengecewakan, terutama Garuda 19.
ReplyDeleteGan, buat juga dong kategori nominasi2 seperti film terbaik,sutradara,aktor + aktris. Btw, suka bgt sama film Mari Lari dan Berandal!
ReplyDeleteSebetulnya sih pengen banget, cuma waktu tidak memungkinkan. Mungkin bisa cek di nominasi Piala Maya (http://cinetariz.blogspot.com/2014/12/daftar-nominasi-piala-maya-2014.html), pilihannya kurang lebih sama. Saya ikut nyeleksi di sana juga.
ReplyDeletesetuju sama list ini!!
ReplyDeletesuka banget sama The Raid 2, 7/24, Hijrah Cinta, Comic 8, dan Supernova... keren banget! gak rugi nontonnyaaa....
Terima kasih banyak :)
ReplyDelete1. The Raid termasuk film Indonesia ya, yg buat kan org luar?
ReplyDelete2. dan knp di FFI aja ga masuk ya? hehe..
The Raid adalah film Indonesia. Walau sutradaranya orang luar, tapi rumah produksi, pendanaan serta pemain dan kru mayoritas berasal dari Indonesia. Bahkan film ini diakui buatan Indonesia.
ReplyDeleteUntuk FFI, mereka memiliki peraturan aneh untuk tidak memasukkan film Indonesia yang tidak disutradarai oleh WNI. Itulah kenapa The Raid dan Jalanan 'didiskualifikasi'.
Sori mau nambahin aja, bahwa The Raid tidak berkeinginan untuk mendaftarkan diri ke ajang FFI. Bukan karena sutradaranya bule. Lain cerita sama film LOVE (2008) yang pada tahun itu mendaftar ke FFI, namun didiskualifikasi karena sutradaranya bukan WNI. Padahal dari segi kualitas, LOVE merupakan film terbaik 2008, menurut saya. Dari segi akting (terutama yg memerankan tokoh Dinda, dan Alm. Sophan Sopiaan) sinemato, scoring, editing, ost. Hampir sempurna! Sama seperti theme songnya. :)
ReplyDeletehaji backpacker gk masuk mas taufiq??
ReplyDelete^ Nyaris masuk. Tersingkir di menit-menit terakhir. Mungkin jika diperpanjang list-nya hingga 20 besar.
ReplyDelete@Bagus: Terima kasih banyak atas koreksi dan tambahan informasinya :)
Marry Riana sama Assalamualaikum Beijing gak masuk gan?
ReplyDeleteAda alasan mengapa saya tidak menulis review Merry Riana, film itu sangat sangat mengecewakan. Jadi terjawab mengapa tidak ada pada list, bukan? Assalamualaikum Beijing mungkin masuk jika daftar diperluas menjadi 20 film.
ReplyDeletekeren! :)
ReplyDeleteThank you so much, Put! :)
ReplyDelete